Realis, Marxis, Liberalis : Tiga Teori Ekonomi Politik Internasional Matthew Watson

Matthew Watson dalam John Ravenhill (2008) membagi teori EPI dibagi menjadi tiga bagian (trikotomi) yaitu Liberalisme, Realisme, dan Marxisme. Watson kemudian berpendapat bahwa telah terjadi kesalahan dalam pemaknaan Realisme dan Marxisme dalam EPI. Banyak orang yang menganggap bahwa Realis dan Marxis mempunyai beberapa nama yang mempunyai kesamaan makna. Namun jika ditelusuri sejarahnya akan terlihat perbedaan-perbedaan dari beberapa nama tersebut.

Pertama adalah pendekatan realis. Pendekatan realis juga sering disebut pendekatan statis, pendekatan merkantilis, dan pendekatan nasionalis (Watson, 2008:32). Pendekatan realis sekilas sama dengan realis pada Hubungan Internasional namun hal yang membedakan adalah karena EPI sendiri berbicara mengenai hubungan antara ekonomi dan politik maka realis EPI lebih terkonsentrasi pada low politics daripada hard politics

EPI realis menurut R.B.J.Walker (1993) dalam Watson (2008:33) memiliki dua tokoh klasik yang mendasari pemikiran era modern yaitu Hans Morgenthau dan E.H.Carr. Morgenthau sebagai realis struktural berpikir bahwa negara akan lebih peduli pada kepentingannya sendiri ketika ia menghitung kecenderungan pendiriannya pada sebuah negosiasi ekonomi internasional. Sedangkan E.H.Carr sebagai realis historisis lebih menekankan pada perilaku negara ketika mendapat tekanan dari negara lain. Ia menganggap bahwa negara akan menghindari ancaman dari negara lain karena hal tersebut dapat mengganggu ekonomi domestik. Agar ancaman negara lain dapat dihindari maka perlu adanya suatu lembaga yang mengatur norma ekonomi negara. Dengan disepakatinya norma tersebut oleh semua negara maka kemanan ekonomi menjadi lebih terjamin.

Kemudian sesuai pembahsan awal bahwa realis mempunyai nama lain yang sering disamakan. Yang pertama adalah pendekatan statis. Dunia EPI statis dideskripsikan adalah, di hati, sebuah dunia negara, dan setiap aspek lain dari dunia tersebut hanyalah cabang terhadap eksistensi, aktivitas, dan keputusan dari negara (Watson, 2008:34). Hal ini bermakna bahwa negara mempunyai peranan penting dalam ekonomi negara. Aktor utama dan satu-satunya yang dominan dalam ekonomi politik adalah negara. Aktor-aktor lain seperti MNC, dan NGO, atau institusi-institusi lainnya dianggap tidak memegang peranan penting. Mereka semua dijalankan oleh negara dan tidak dapat berjalan sendiri.

Kemudian pendekatan merkantilis dan nasionaliis. Pendekatan merkantilis adalah sebuah perspektif ekonomi politik yang mempertanyakan peran negara pada kehidupan ekonomi (Watson,2008:34). Perbedaan antara realis dan merkantilis sendiri terletak di seberapa luas jangkauan studinya. Untuk realis, masalah yang paling penting adalah bagaimana negara mengatur urusan ekonominya dalam politik internasional (Watson, 2008:34). Pemikiran ini dapat disebut sebagai outward-looking. Sedangkan merkantilis dapat dipelajari lebih sebagai pendekatan inward-looking peran negara, berkonsentrasi pada bagaimana merkantilis mengorganisasikan urusan ekonomi domestik agar perkembangan sumber daya ekonomi dapat memberikan posisi tawar lebih dalam negosiasi internasional (Watson, 2008:34).

Pendekatan nasionalis kurang lebih sama dengan pendekatan merkantilis. Perbedaan utama diantara keduanya adalah waktu ketika mereka berasal (Landreth dan Colander, 1994 dalam Watson,2008:35). Jika pendekatan merkantilis muncul tahun 1500-1700an sebelum adanya pemikiran Adam Smith Wealth of Nations maka nasionalis dianggap muncul setelah adanya pemikiran tersebut (setelah tahun 1700an). Pendekatan nasionalis muncul seiring dengan berkuasanya Inggris dalam ekonomi internasional. Inggris tidak hanya eksportir utama perdagangan barang di dalam dunia pasar, mereka juga telah sukses mengekspor ideologi pasar bebas laissez faire-nya (Watson, 2008:35). Keadaan ini sesuai dengan pemikiran Adam Smith yang menentang prinsip-prinsip merkantilis bahwa negara tidak hanya berkonsentrasi pada pasar domestik tetapi juga harus menguasai pasar internasional.

Marxis
Marxis tidak dapat dipungkiri berasal dari pemikiran Karl Marx. Marxisme menolak kemunculan kapitalisme yang dianggapnya hanya menguntungkan kaum pemilik modal. Jika dibandingkan dengan realisme sendiri, marxis mempunyai perbedaan yang kontras. Perspektif realis akan mempertanyakan bagaimana negara dapat menyusun sistem kapitalis sehingga mereka dapat mendapatkan keuntungan relatif dari negara lain. Sedangkan marxisme sendiri mempertanyakan kapitalisme itu sendiri dengan pertanyaan seperti mengapa masyarakat seharusnya diharapkan untuk menyetujui perkembangbiakan sistem kapitalis. Disini tentu saja akan terjadi perbedaan yang kontras antara realis dan marxis. Realis telah menerima kapitalis dan berfikir bagaimana mendapat keuntungan di dalam sistem tersebut sedangkan marxis masih belum bisa menerima sistem kapitalisme dan berusaha untuk menghapuskan sistem tersebut.

Premis awal marxis terhadap kapitalis adalah sistem kapitalis hanya bisa menjadi entitas dinamis ketika kebutuhan dari sistem tersebut dipriioritaskan secara paksa atas hak-hak individu untuk hidup sebagai manusia otonom (Watson, 2008:36). Ketika sistem kapitalis berjalan maka individu dalam hal ini para buruh bekerja bukan untuk mensejahterakan dirinya atau untuk mendapat penghasilan lebih yang dapat dinikmati, namun individu seolah bekerja sebagai “mesin” yang berguna untuk melancarkan sistem itu sendiri. Dalam pandangan Marxis penyatuan individual sebagai input komodifikasi ke dalam sistem kapitalis selalu berakibat pada efek ketidakmanusiaan (Watson, 2008:36).

Kemudian marxis sama seperti realis mempunyai beberapa tata nama yang sering dianggap sama maknanya. Marxis kemudian sering disamakan dengan strukturalis modern. Perbedaan diantara keduanya adalah strukturalis cenderung untuk kurang memperhatikan rekonstruksi kerangka kerja penjelasan Marx karena titik nyata keberangkatan dapat ditemukan pada usaha Lenin untuk menginternasionalisasi tema Marxis fundamental (Watson, 2008:38). Berawal dari keinginan Lenin untuk menginternasionalisasikan Marx dengan menggabungkannya dengan hasil pemikirannya, Lenin kemudian berargumen bahwa imperialisme merupakan tahap tertinggi dari kapitalisme. Orang-orang borjuis domestik di negara-negara Eropa telah meningkat menjadi internasional borjuis melalui keinginannya untuk menyerang kompromi kelas domestik (Watson, 2008:38).

Selanjutnya Watson (2008) menganggap radikal dan kritikal sebagai perluasan dari Marxisme EPI. Marxisme dan Strukturalisme keduanya merupakan radikal (merepresentasikan perlawanan terhadap sistem kapitalis) dan juga kritikal ( tidak menerima sistem tersebut sebagai suatu hal yang “given”) (Watson, 2008:38). Penggunaan radikal dan kritikal disini lebih sebagai akibat dari munculnya pemikir feminis, green, dan post-strukturalis. Mereka menganggap bahwa marxisme kurang relevan dan intelektual ketika dibawa ke era kekinian. Oleh karena itu melalui Teori Kritis yang berkembang di Frankfurt School para akademisi kemudian mencoba untuk memberikan ekplasnasi penggunaan teori Marxis yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Liberalisme
Liberalisme menurut Watson sangat identik dengan pemikiran Adam Smith dan David Ricardo. Adam Smith mengidentifikasi “invisible hand” yang memungkinkan ekonomi pasar menjadi entitas yang bekerja sendiri. Sedangkan dari David Ricardo melalui comparative advantagenyamenjelaskan bagaimana invisible hand dapat memperluas kesejahteraan ekonomi global dengan mendorong negara untuk menjual barang produksinya yang tidak dimiliki negara lain.

Adam Smith kemudian menganggap bahwa sistem ekonomi liberal yang bekerja sendiri tanpa intervensi negara merupakan hal yang terbaik untuk mencapai keuntungan ekonomi. Harga barang harus dalam keadaan murni dalam arti bahwa harga barang merupakan akumulasi dari nilai input dan biaya tambahan lainnya.

Sedangkan David Ricardo mengembangkan pemikiran Smith melalui bukunya Principles of Political Economy and Taxation. Teori comparative advantage kemudian muncul melalui karyanya On Foreign Trade dengan maksud untuk berargumen mengenai masalah perdagangan bebas. David Ricardo lebih lanjut berpendapat bahwa produksi ekonomi modern harus diorganisasikan di setiap negara dengan berdasarkan pada comparative advantage.

Sumber :

Watson, Matthew. 2008. “Theoretical Traditions in Global Political Economy”, dalam John Ravenhill, Global Political Economy, Oxford: Oxford University Press, pp. 27-66

Teori Konflik Struktural dan Kritis

(Positivisme dan Sosial Kritis)
Bab singkat ini ingin mendiskusikan analisis konflik dalam dua aliran besar ilmu-ilmu sosial, yaitu tradisi konflik struktural dan kritis. Dua tradisi ini berakar dalam tradisi positivisme dan kritis. Fakta akademisnya, analisis konflik dalam ilmu sosial memang selalu didominasi oleh positivisme dan ilmu sosial kritik. Aliran humanisme-kultural tidak begitu populer sebagai kajian konflik. Aliran humanisme kultural—historis heuermenetik seringkali dipandang hanya menelaah apa-apa saja yang dipandang sebagai realitas kultural. Sebelumnya, menjadi cukup penting melakukan pemetaan teori konflik yang lahir dari tradisi positivisme dan kritis.

A. Perkembangan Umum Teori Konflik
Teori konflik yang muncul pada abad ke sembilan belas dan dua puluh dapat dimengerti sebagai respon dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi, sehingga kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika (Mc Quarrie, 1995: 65). Selain itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.
Perspektif konflik dapat dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti KARL MARX (1818-1883), EMILE DURKHEIM (1879-1912), MAX WEBER (1864-1920), SAMPAI GEORGE SIMMEL (1858-1918). Keempat pemikiran ini memberi kontribusi sangat besar terhadap perkembangan analisis konflik kontemporer. Satu pemikiran besar lainnya, yaitu Ibnu Khouldoun sesungguhnya juga berkontribusi terhadap teori konflik. Teori konflik Khouldun bahkan merupakan satu analisis komprehensive mengenai horisontal dan vertikal konflik.
Marx adalah satu tokoh yang pemikirannya mewarnai sangat jelas dalam perkembangan ilmu sosial. Pemikiran Marx berangkat dari filsafat dialektika Hegel. Hanya saja ia menggantikan dialektika ideal menjadi dialektika material, yang diambil dari filsafat Fuerbach, sehingga sejarah merupakan proses perubahan terus menerus secara material. Sebagaimana dijelaskan Cambell dalam Tujuh Teori Sosial (1994), bahwa Marx menciptakan tradisi materialisme historis yang menjelaskan proses dialektika sosial masyarakat, penghancuran dan penguasaan secara bergilir kekuatan-kekuatan ekonomis, dari masyarakat komunis primitif kepada feodalisme, berlanjut ke kapitalisme, dan terakhir adalah masyarakat komunis.
Berkaitan dengan konflik, Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke 19 di Eropa dimana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkhis, dan borjuis melakukan eksploitasi terhadap proletar dalam sistem produksi kapitalis. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis, false consiousness, dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan dan cita-cita akhirat. Dengan ini Marx mejadi orang yang tidak tertarik pada agama karena itu candu yang mengantar manusia pada halusinasi kosong dan menipu, untuk itulah komunisme selalu diintepretasikan dengan politik anti Tuhan (atheisme).
Ketegangan hubungan produksi dalam sistem produksi kapitalis antara kelas borjuis dan proletar mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan hubungan produksi terjadi ketika kelas proletar telah sadar akan eksploitasi borjuis terhadap mereka. Sampai pada tahap ini Marx adalah seorang yang sangat yakin terhadap perubahan sosial radikal, tetapi lepas dari moral Marx, esensi akademiknya adalah realitas kekuasaan kelas terhadap kelas lain yang lemah, konflik antar kelas karena adanya eksploitasi itu, dan suatu perubahan sosial melalui perjuangan kelas, dialektika material, yang sarat konflik dan determinisme ekonomi. Pemikiran ini nantinya sangat berpengaruh dan berkembang sebagai aliran Marxis, neoMarxis, madzab Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik lainnya.
Max Weber tidak sepakat dengan konsepsi Marx tentang determinisme ekonomi, ia mengajukan konsepsi sosiologis yang bagi sebagian ilmuwan sosial dipandang lebih komprehensive. Weber menciptakan teori tindakan yang mengklasifikasi tindakan individu kedalam empat tipe. Zwecrationalwertrational, tindakan afektif, dan tindakan tradisional.Zwectrational berkaitan dengan means and ends, dimana tujuan-tujuan (ends) dicapai dengan menggunakan alat atau cara (means), perhitungan yang tepat, dan bersifat matematis. Wertrational adalah tindakan nilai dimana orientasi tindakan itu tidak berdasarkan pada alat atau caranya tetapi pada nilai, atau moralitas misalnya. Tindakan afektif individu didominasi oleh sisi emosional, dan tindakan tradisional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi, sebagai sistem nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama. Ada sebagian yang menyebutkan Weber adalah seorang teoritikus micro anlysiskarena ia berangkat dari tindakan individual.
Tetapi, seperti yang ditulis George Ritzer (1960), Weber memang memulai konsepsi sosiologisnya dari tindakan tetapi ia sendiri membuat suatu analisis luas tentang masyarakat. Berkebalikan dengan Marx bahwa kelas adalah determinisme ekonomi, Weber memberikan konsep sosiologis kelas yang lebih luas dan lebih dapat diterima secara teoritis.  
Stratifikasi tidak hanya dibentuk oleh ekonomi melainkan juga prestige (status), danpower (kekuasaan/politik). Konflik muncul terutama dalam wilayah politik yang dalam kelompok sosial adalah kelompok-kelompok kekuasaan, seperti partai politik. Weber melihat persoalan wewenang dalam kerangka politik diperebutkan oleh partai-partai. Pengaruh pemikiran Weber ini akan banyak kita lihat dalam pemikiran Ralf Dahrendorf. Pemikiran Marx cenderung determinis dan Weber cenderung masuk ke subyektivisme, kemudian di Perancis pada kurun waktu yang sama Emile Durkheim memberikan perhatian di luar pemikiran Marx dan Weber, pada apa yang disebutnya sebagai social fact atau fakta sosial.
Fakta sosial bersifat exteriority, yang diluar atau eksternal, dan mendesakkan kehendaknya kedalam diri individu-individu. Individu bergerak atas dasar nilai sosial yang eksternal, di luar dirinya dan memaksa dalam bertindak. Hal ini adalah suatu aturan yang tidak tertulis, unwritten, dan merupakan pembahasan sosiologi ilmiah. Konsepsi sosiologis Durkheim dapat dipahami melalui pembuktiannya tentang suicide, yang secara umum ia membagi masyarakat kedalam masyarakat mekanik dan organik. Masyarakat mekanik mempunyai conscience collective, kesadaran umum, yang mendasari tindakan-tindakan yang bersifat kolektif. Kesadaran umum dapat juga sebagai moral bersama yang koersif pada setiap anggota-anggotanya. Suicide dalam masa ini berdasarkan kesadaran umum, Durkheim menyebutknya sebagai suicide altruism. Pokok pikiran Durkheim adalah fakta sosial, Giddens merinci dua makna yang saling berkaitan, dimana fakta-fakta sosial merupakan hal yang eksternal bagi individu.  
Pertama-tama tiap orang dilahirkan dalam masyarakat yang terus berkembang dan yang telah mempunyai suatu organisasi atau strutur yang pasti serta yang mempengaruhi kepribadiannya. Kedua fakta-fakta sosial merupakan ‘hal yang berada di luar’ bagi seseorang dalam arti bahwa setiap individu manapun, hanyalah merupakan suatu unsur tunggal dari totalitas pola hubungan yang membentuk masyarakat (Giddens, 1986: 108). Baik Marx, Weber, dan Durkheim, sebenarnya menurut Giddens, mempunyai kepentingan terhadap kerangka teori yang mereka bangun terhadap realitas aktual masing-masing. Perkembangan ilmu sosial kemudian memperoleh kesempurnaannya setelah tradisi pemikiran Eropa melahirkan determinisme ekonomi atau pertentangan kelas dari Marx, teori teori tindakan dan stratifikasi sosial Weber, dan Fakta sosial dari Durkheim, di Jerman George Simmel memberikan pemikiran yang bercorak realis. Simmel adalah seorang ilmuwan murni, dalam arti tidak berpretensi membangun ideologi sebagaimana Marx, yang berfokus pada interaksi sosial, berusaha mengerti tentang struktur sosial.
Simmel konsern pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi di dalam konteks sistematik yang hanya dapat ditipekan sebagai suatu percampuran organis dari proses asosiatif dan disasosiatif. Proses itu adalah satu refleksi dari impuls naluriah dari pelaku dan ketentuan yang memerintah oleh berbagai macam tipe hubungan sosial. Proses konflik adalah, oleh sebab itu, satu ciri dimana-mana dari sistem sosial, tetapi tidak memerlukan, dalam banyak kasus, petunjuk mengenai kerusakan sistem dan atau perubahan sosial.
Kenyataannya, konflik dalam satu proses prinsip pengoperasian pada pemeliharaan keseluruhan sosial dan atau beberapa sub bagiannya (Turner, 1985: 128), pemikiran ini akan banyak mempengaruhi Lewis Coser. Pada dasarnya, Turner mencatat, perbedaan antara Marx dan Simmel terletak pada bahwa hubungan sosial terjadi di dalam konteks sitematik yang hanya dapat ditipekan sebagai pecampuradukan organis dari proses asosiasi dan disasosiasi, konflik terjadi dimana-mana dalam sistem sosial, kenyataannya konflik adalah satu prinsip operasional memelihara keseluruhan sosial dan atau beberapa bagiannya.



B. Teori Konflik Struktural
Dielektika Konflik Ralf Dahrendorf
Keberadaan teori konflik muncul setelah fungsionalisme, namun, sesungguhnya teori konflik sebenarnya sama saja dengan suatu sikap kritis terhadap Marxisme ortodox. Seperti Ralp Dahrendorf, yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elit dominan, daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja, daripada modal dan buruh (Mc Quarie, 1995: 66).
Dahrendorf menolak utopia teori fungsionalisme yang lebih menekankan konsensus dalam sistem sosial secara berlebihan. Wajah masyarakat menurutnya tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan. Baginya, pelembagaan melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dimana, istilah-istilah dari kriteria tidak khusus, mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan. Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.
Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan “authority”, dimana, beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lang lain (Turner, 1991: 144). Sehingga tatanan sosial menurut Dahrendorf , dipelihara oleh proses penciptaan hubungan-hubungan wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkordinasi yang ada hingga seluruh lapisan sistem sosial. Kekuasaan dan wewenang adalah sumber langka yang membuat kelompok-kelompok saling bersaing.  
Resolusi dalam konflik antara kelompok-kelompok itu adalah redistribusi kekuasaan, atau wewenang, kemudian menjadikan konflik itu sebagai sumber dari perubahan dalam sistem sosial. Selanjutnya sekelompok peran baru memegang kunci kekuasaaan dan wewenang dan yang lainnya dalam posisi di bawahnya yang diatur. Redistribusi kekuasaan dan wewenang merupakan pelembagaan dari kelompok peranan baru yang mengatur (ruling roles) versus peranan yang diatur (ruled roles), dimana dalam kondisi khusus kontes perebutan wewenang akan kembali muncul dengan inisiatif kelompok kepentingan yang ada, dan dengan situasi kondisi yang bisa berbeda. Sehinga kenyataan sosial merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial.
Konflik sosial dalam teori ini berasal dari upaya merebut dan mempertahankan wewenang dan kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya. Hanya dalam bentuk wewenang dan kekuasaan yang bagaimanakah konflik tersebut dapat digambarkan.

Analisis Konflik Lewis Coser
Pada sisi lain dalam pemikiran teori konflik, Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran positif, atau fungsi positif, dalam masyarakat. Pandangan teori Coser pada dasarnya usaha menjembatani teori fungsional dan teori konflik, hal itu terlihat dari fokus perhatiannya terhadap fungsi integratif konflik dalam sistem sosial. Coser sepakat pada fungsi konflik sosial dalam sistem sosial, lebih khususnya dalam hubungannya pada kelembagaan yang kaku, perkembangan teknis, dan produktivitas, dan kemudian konsern pada hubungan antara konflik dan perubahan sosial.
Coser memberikan perhatian terhadap asal muasal konflik sosial, sama seperti pendapat Simmel, bahwa ada keagresifan atau bermusuhan dalam diri orang, dan dia memperhatikan bahwa dalam hubungan intim dan tertutup, antara cinta dan rasa benci hadir. Sehingga masyarakat akan selalu mengalami situasi konflik Karena itu Coser membedakan dua tipe dasar koflik (Wallace&Wolf, 1986: 124), yang realistik dan non realistik. Coser sendiri banyak dipengaruhi oleh George Simmel. Simmel dan Coser adalah orang realis yang melihat konflik dan integrasi sebagai dua sisi saling memperkuat atau memperlemah satu sama lain.
Konflik realistik memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material, seperti sengketa sumber ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber sengketa itu, dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik akan segera diatasi dengan baik. Konflik non realistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, konflik ini seperti konflik antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya. Antara konflik yang pertama dan kedua, konflik yang non realistik lah cenderung sulit untuk menemukan solusi konflik atau sulitnya mencapai konsensus dan perdamaian. Bagi Coser sangat memungkinkan bahwa konflik melahirkan kedua tipe ini sekaligus dalam situasi konflik yang sama.

C. Teori Konflik Madzab Kritis
Tradisi kritis yang meyakini bahwa ilmuwan sosial mempunyai kewajiban moral mengajak dalam melakukan kritik masyarakat pada dasarnya melakukan usaha melpaskan hubungan dominatif penguasa terhadap masyarakat dalam struktur sosial. Karena itulah kepentingan teori sosial kritis adalah emansipasi yang membebaskan masyarakat dari kekejaman struktur sosial menindas yang dikuasi oleh kelompok kekuasaan. Mereka menolak memisahkan analisis dari pertimbangan atau fakta dari nilai. Kelompok ini diwakili oleh tradisi pemikiran Frankurt yang ditokohi Herbert Marcuse, Adorno, dan Jurgen Habermas (Jerman) serta Charles Wright Mills (Amerika) yang secara keseluruhan mereka banyak dipengaruhi oleh kerja-kerja intelektual Marx dan Max Weber dalam beberapa hal.
Suatu analisis sosiologis yangh kritis telah dilakukan dengan sangat jelas oleh Charles W. Mills dalam risetnya tentang struktur kekuasaan di Amerika (The Power Elite, 1956). Mills tidak sepakat terhadap dua hubungan konflik yang hanya terdiri dari dimensi ekonomi, dia lebih sepakat terhadap paparan Weber tentang terbaginya stratifikasi sosial kedalam tiga dimensi, ekonomi, prestis, dan politik. Mills sendiri melihat hubungan konflik, yang mengandaikan hubungan dominasi, sangat dipengaruhi oleh ekonomi dan politik.
Mills melakukan riset terhadap struktur kekuasan Amerika yang dari penelitian itu diperoleh suatu hubungan dominatif, dimana stukrur sosial dikuasi elit dan rakyat adalah pihak ada di bawah kontrol politisnya. Hubungan dominatif itu muncul karena elit-elit berusaha memperoleh dukungan politis rakyat demi kepentingan mobilitas vertikal mereka secara ekonomi dan politik. Elit-elit itu adalah militer, politisi, dan para pengusaha (ekonomi).Mills menemukan bahwa mereka, para elit kekuasaan, mempunyai kencederungan untuk kaya, baik diperoleh melalui investasi atau duduk dalam posisi eksekutif. Satu hal penting lagi, mereka yang termasuk dalam elit kekuasaan sering kali pindah dari satu bidang yang posisinya tinggi dalam bidang yang lain. Kasus Amerika, Mills memberi contoh Jenderal Eisenhower yang kemudian menjadi Presiden Eisenhower. Ada contoh lain yang diungkapkan Mills, seperti seorang laksmana yang juga seorang bankir, seorang direktur, dan menjadi pimpinan perusahaan ekonomi terkemuka.
Elit-elit kekuasaan mempunyai keinginan besar terhadap perkembangan diri mereka dan tentu saja secara politis mereka membutuhkan dukungan dari rakyat. Media massa yang mempunyai posisi dan peran strategis dalam menyampaikan isu-isu nasional merupakan alat bagi elit kekuasaan untuk meraih dukungan itu, yaitu melalui proses komunikasi informasi satu arah bukan dialog. Proses itu merupakan bagian dari indoktrinisasi dan persuasi elit-elit kekuasaan. Masyarakat hanya bersifat pasif sebagai penadah informasi-informasi elit kekuasan. Satu hal penting lainnya, rakyat tidak cukup mengetahui realitas atau kebenaran sehingga begitu mudah menjadi salah satu pendukung dari isu atau informasi yang disebarkan elit melalui media massa. Mills menyebut mereka sebagai masyarakat massa(mass society). Masyarakat massa seperti kerbau yang dicocok hidungnya karena tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran yang sejati tentang isi dari informasi atau isu-isu para elit.
Kita bisa menyaksikan di Indonesia elit-elit kekuasaan yang disebutkan Mills dari golongan politisi, militer, dan pengusaha ekonomi mempunyai karakter dan gerakan yang serupa. Elit-elit kekuasaan di Indonesia menciptakan hubungan dominatif antara mereka dan rakyat. Mereka juga bergerak mencapai posisi yang tinggi ke posisi (lebih) tinggi lainnya. Pada pemilihan presiden tahun 2004 ini dapat ditemukan dua orang elit dari militer berusaha mencapai posisi yang lebih tinggi dari yang sebelumnya, yaitu presiden atau wakil presiden.Ada dua orang calon wakil presiden yang sebelumnya merupakan elit pengusaha dan pejabat pemerintahan. Ada juga yang dulunya hanya aktifis politik dan bersuami pengusaha bahkan telah menjadi presiden. Tampaknya jelas sekali bahwa para elit kekuasaan pada saat ini tengah melakukan pergerakan mendapatkan posisi yang lebih tinggi dari sebelumnya untuk mobilitas vertikal secara ekonomi maupun politik.
Analisis kritis Mills sesungguhnya tidak langsung disebutkan sebagai bangunan teori konflik. Tetapi ciri-ciri penting dalam analisisnya menunjukkan hubungan dominatif dalam stukrur sosial antara kelompok-kelompok elit yang berusaha menambah kekayaannya dengan masyarakat. Sampai di sini, secara singkat, dapat ditemukan bahwa teori Mills tentang elit adalah pembuktian terhadap teorinya sebagai bagian dari teori konflik beraliran kritis.

C. Penutup
School of tought tokoh-tokoh klasik ini berperan besar terhadap perkembangan selanjutnya dalam ilmu-ilmu sosial di Eropa maupun Amerika. Seolah kelengkapan sosiologi tidak bisa diperoleh dari satu pemikiran saja tetapi di sumbang oleh karya-karya seperti keempat tokoh klasik di atas. Sosiologi konflik kemudian adalah semacam pergolakan pemikiran mencari kebenaran di antara gejolak pemikiran dan respon terhadap konteks daerah pemikiran itu muncul.
Kita melihat optimisme radikal tentang perubahan struktur kelas kapitalisme Marx dan pesimisme konservatif Weber dalam perhatiannya tentang rasionalisasi telah membentuk tema tak terpecahkan dalam sosiologi modern. Aliran konflik sendiri kemudian menjadi terbagi sebagai dua kubu pemikiran, antara madzab kritis Frankurt, termasuk Charles W. Mills dari Amerika, dan madzab sosiologi analitis Amerika, seperti Ralp Dahrendorf dan Lewis Coser, yang pada dasarnya adalah kelanjutan dari perdebatan antara Marx dan Weber (Wallace & Wolf, 1986: 63).
Tradisi pertama adalah kelompok yang meyakini bahwa ilmuwan sosial mempunyai kewajiban moral mengajak dalam melakukan kritik masyarakat. Kepentingan teori sosial adalah emansipasi yang membebaskan masyarakat dari kekejaman struktur sosial menindas. Mereka menolak memisahkan analisis dari pertimbangan atau fakta dari nilai. Kelompok ini diwakili oleh tradisi pemikiran Frankurt yang ditokohi Herbert Marcuse, Adorno, dan Jurgen Habermas (Jerman) serta Charles Wright Mills (Amerika) yang secara keseluruhan mereka banyak dipengaruhi oleh kerja-kerja intelektual Marx dan Max Weber dalam beberapa hal.  
Kelompok kedua, sebaliknya, mempertimbangkan konflik menjadi tak terhindarkan dan aspek permanen kehidupan sosial; dan mereka juga menolak ide bahwa kesimpulan ilmuwan sosial sarat nilai. Sebaliknya, pendukungnya tertarik dalam pendirian ilmu sosial dengan ukuran sama obyektivitas sebagaimana ilmu alam. Kelompok kedua ini masih dipengaruhi oleh Marx namun lebih banyak melanjutkan pemikiran Max Weber, mereka seperti Lewis Coser yang dipengaruhi pemikiran realis George Simmel (1956, 1967) dengan fungsi-fungsi konfliknya, Ralf Dahrendorf yang banyak terpengaruh oleh Max Weber dan Marx dala sisi tertentu (1958/1959) dengan konflik dialektis yang ia kembangkan.  
Pada dasarnya walaupun analisis konflik terbagi menjadi dua tradisi pemikiran orientasi mereka dihubungkan oleh tiga asumsi umum yang menghubungkannya (Wallace & Wolf, 1986: 62-63), pertama bahwa setiap orang mempunyai angka dasar kepentingan, mereka ingin dan mencoba mendapatkannya, dimana masyarakat selalu terlibat dalam situasi yang diciptakan oleh keinginan-keinginan dari setiap orang dalam meraih kepentingannya.  
Kedua, dan pusat pada perspektif teori konflik secara keseluruhan, adalah satu pemusatan perhatian pada kekuasaan sebagai inti hubungan sosial. Teori konflik selalu melihat kekuasaan tidak hanya sebagai kelangkaan dan pembagian tak merata, dan oleh sebab itu satu sumber konflik, dan juga sebagai paksaan penting. Ketiga aspek khusus teori konflik adalah bahwa nilai dan ide-ide dilihat sebagai senjata yang digunakan oleh kelompok-kelompok berbeda mempermudah tujuan mereka, daripada sebagai cara-cara pendefinisian satu identitas masyarakat keseluruhan dan tujuannya.  
Sampai di sini, sesungguhnya analisis konflik didominasi oleh dua aliran besar, positivisme atau empiris analitis dan tradisi ilmu sosial kritis. Artinya, analisis konflik dapat kita pilahkan teori konflik positivistis dan teori konflik kritis. Lalu dimana posisi pendekatan humanisme-historis heurmenetik dalam analisis konflik? Untuk melihatnya, pada bab selanjutnya secara khusus akan dilihat bagaimana pendekatan humanisme kultural– historis heurmentik melakukan analisis konflik.

Referensi
(terpisah)
Lihat dalam bab tentang kelas dari Das Capital vol. 1
Lewis Coser, Social Conflict and The Theory of Social Change, British Journal of Sociology 8:3 (Sept. 1957).
Satu elaborasi baru yang tentang teori konflik dalam pandangan Ibn Khouldun, yang sesungguhnya teori Ibnu Kholudun mampu menjadi presentasi dari tradisi empiris sekaligus kritis. Lihat dalam Ikhwanul Hakim, 2004, Elaborasi Teori Konflik Ibn Khouldun, Pustaka Pelajar.

FEMINISME : EMPIRIS, ANALITIK, NORMATIF

Teori feminis muncul dalam Ilmu Politik sejak tahun 1990an. Teori ini mencoba untuk melawan dominasi dari kaum pria yang dianggap berlebih. Bersama dengan teori kritis, postmodernisme, konstruktivisme, dan green politics, feminisme mencoba untuk bersaing dengan teori-teorimainstream seperti realis dan liberalis. Seperti halnya teori-teori kontemporer lain, feminisme membahas Hubungan Internasional jauh dari fokus tunggal pada hubungan antar negara menuju analisis komprehensif aktor transnasional dan struktur dan transformasinya dalam politik global (True:2001).

Sejak tahun 1980an sarjana Ilmu Politik yang mendalami tentang feminisme telah menawarkan pengetahuan yang segar dan menarik tantang politik global. Hubungan internasional juga berkaitan dengan feminisme. Seperti dinamika gender yang dapat mempengaruhi proses militerisasi dan ekonomi globalisasi. Cyntia Enloe (1989) berpendapat bahwa politik internasional sering melibatkan hubungan intim, identitas pribadi, dan kehidupan pribadi. Hal ini dianggap kurang transparan dan tidak normal oleh para penstudi Hubungan Internasional, oleh karena itu tidak jarang teori ini sering kali diabaikan oleh para penstudi tersebut. Mengambil pandangan dari bawah, kaum feminisme berusaha untuk menguhubungkan antara gender dengan hubungan internasional. Seperti kontrak perkawinan yang dipercaya sebagai fasilitator pencucian uang lintas negara dan perdagangan manusia. Peran gereja dan keluarga masyarakat untuk menggulingkan rezim otoriter dan melakukan perdamaian, dsb.

Generasi pertama feminisme muncul pada tahun 1980an. Mereka berusaha untuk menumbangkan dan mendekonstruksi pemikiran-pemikiran realisme yang seakan menjadi teori yang paling dominan setelah terjadinya Perang Dunia. Setelah itu pada tahun 1990an mulai muncul berbagai karya dari para sarjana feminisme seperti Tickner, Sylvester, Pettman, Steans, Peterson, dan Runyan. Generasi kedua feminisme muncul mulai akhir 1990an. Mereka lebih hati-hati dalam menggunakan analisis dan mulai mengaitkan dirinya pada perkembangan dunia internasional. Mereka juga menghasilkan wawasan teoretis baru tentang politik global.

Feminisme sendiri dapat dibagi menjadi tiga bagian kelompok. Yang pertama adalah feminisme empiris. Mereka berusaha untuk menjadikan feminisme sebagai aspek empiris dalam hubungan internasional. Feminisme empiris mengoreksi penolakan dan penafsiran yang salah atas wanita di dunia tentang kesalahan asumsi jika pengalaman laki-laki dapat mengatur baik pria maupun wanita dan menganggap perempuan absen dari dunia internasional dan tidak relevan dalam proses global (True:2001). Padahal tidak sepenuhnya seperti itu. Wanita akan selalu manjadi bagian dalam hubungan internasional. Wanita tidak dianggap ini lebih karena kehidupan dan pengalaman perempuan belum secara empiris diteliti dalam konteks politik dunia. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Grant dan Newland (1991) bahwa Hubungan Internasinal selama ini terlalu terfokus pada konflik dan anarki.

Pada mulanya penelitian feminisme bukan merupakan penelitan empiris. Sarjana feminisme memerlukan kejelasan konseptual yang lebih besar dari yang diperlukan untuk teoritis kritik untuk melakukan penelitian empiris (True:2001). Kemudian sejak tahun 1990an penilitian empiris feminisme mulai muncul. Seperti studi “Woman in International Development” (WID) dan juga Gender and Development (GAD). Studi empiris menunjukkan bahwa alokasi yang paling efisien untuk bantuan pembangunan sering untuk melayani wanita dengan teknologi pertanian yang tepat, pembiayaan kredit, pendidikan, dan sumber daya (True:2001).

Studi empiris feminis juga mengungkapkan konstruksi gender dalam organisasi internasional dimana yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki saat ini mulai berubah dengan semakin banyaknya perempuan yang terlibat dalam organisasi internasional. Selain itu penelitian feminis mengungkapkan bahwa negara-negara dengan ketimpangan gender yang besar berakibat pada keterlibatan negara tersebut dalam berperang dan aksi kekerasan menjadi lebih besar juga.

Kemudian kelompok feminisme kedua adalah feminisme analitis. Feminisme analitis mendekonstruksi kerangka teoretis Hubungan Internasional, mengungkapkan bias gender yang meliputi konsep kunci dan menghambat pemahaman yang akurat dan komprehensif hubungan internasional (True:2001). Pada feminisme analitis tidak memandang gender sebagai pembedaan secara biologis pria dan wanita melainkan lebih kepada konstruksi sosial terhadap maskulinitas-feminimitas. Para hegemonik barat memandang maskulinitas sangat cocok dengan otonomi, kedaulatan, objektivitas, dan universalisme, sedangkan feminitas dianggap tidak memiliki kesemua karakter tersebut. Dengan begitu maskulinitas seolah-olah telah tertanam pada suatu institusi. Analisis feminis berpendapat bahwa kemerdekaan politik domestik dari politik internasional dan pemisahan publik dari ruang privat tidak dapat menjadi dasar untuk batas disiplin, karena anarki diluar biasanya mendukung hirarki gender di rumah dan begitu juga sebaliknya (True:2001).

Yang ketiga adalah feminime normatif. Feminisme normatif mencerminkan pada proses Hubungan Internasional berteori sebagai bagian dari agenda normatif bagi perubahan global (True:2001). Feminisme melihat konteks sosial politik sebagai bagian dari penjelasan teoretik. Feminisme tidak hanya berisi dengan hal-hal yang empiris melainkan tentu saja hal-hal normatif. Feminisme normatif ini membawa hal-hal yang normatif seperti etika dan aktvisme sosial perempuan. Perpektif normatif juga memandang perbedaan gender tida hanya tentang hubungan maskulin-feminin tetapi juga politik pengetahuan.

Sumber :

True, Jacqui, 2001. Feminism, in; Scott Burchill, et al, Theories of International Relations, Palgrave, pp. 231-276

Feminisme

Feminisme sebagai  filsafat sangat erat kaitannya dengan era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki dihadapan hukum. Pada tahun 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatanBelanda. Pertemuan tersebut menginisiasi beberapa pertemuan berikutnya untuk mengkaji nasib kaum perempuan yang terdiskrimasi dan kemudian mencari solusi guna menciptakan kesetaraan.
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" (The Subjection of Women) pada tahun (1869). Dalam buku tersebut ditekankan bahwa perempuan juga bisa menjadi subyek atau pemegang kendali, bukan hanya sebagai obyek atau dikendalikan oleh laki-laki.
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan didepan, diluar rumah, sementara kaum perempuan didalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya eraLiberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Feminisme atau biasa juga disebut dengan femininisme merupakan suatu ideologi pembebasan terhadap perempuan. Semua pendekatan yang melekat pada feminisme adalah suatu keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Feminisme kemudian menggabungkan berbagai metode analisis dan teori dalam setiap praktik ideologi pembebasannya. Konsep feminisme lahir sekitar tahun 1800-an,  sebab banyak orang yang beranggapan bahwa perempuan hanya sebagai subordinat dan perannya dianggap tidak sepenting peran laki-laki. Pandangan masyarakat ketika itu bahwa tempat terbaik untuk kaum perempuan adalah rumah. Bahkan pada akhirnya itu telah menjadi suatu keharusan. Bukan hanya itu, undang-undang pun mencerminkan hal yang sama. Misalkan saja, larangan untuk memilih bagi perempuan pada pemilihan umum. Sebagian besar institusi, atau pendidikan tingkat tinggi, bahkan untuk pekerjaan tertentu juga tertutup untuk perempuan. Meskipun banyak yang menentang, gerakan ini akhirnya tumbuh pesat dan berhasil membuat perempuan memenangkan hak-hak politiknya. Gerakan feminis ini kemudian dikenal dengan gerakan feminis gelombang pertama.[1]
Feminisme gelombang kedua muncul sekitar tahun 1960-an. Pada masa ini, perempuan sudah mulai memasuki dunia kerja yang pada awalnya hanya diperuntukkan dan diperbolehkan bagi kaum pria. Namun sayangnya, ketika pekerjaan sudah diberikan kepada perempuan, ketidakadilan malah dialami oleh perempuan dalam dunia kerja. Perempuan tidak diberi kesempatan untuk mendapat jabatan yang tinggi, melainkan hanya untuk laki-laki.
Pada perkembangannya feminsme terbagi atas beberapa macam bentuk atau aliran, sesuai dengan konsep dan tujuan masing-masing. Namun tidak akan semua diuraikan dalam kerangka konseptual ini. Melainkan hanya aliran yang memiliki keterkaitan yang erat dengan gerakan politik perempuan saja yang akan diuraikan secara rinci. Diantara aliran tersebut ialah sebagai berikut:
11.    Feminisme Liberal
Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka persaingan bebas dan punya kedudukan setara dengan laki-laki.
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasal dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum laki-laki, yang terefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentingan dan pengaruh kaum laki-laki. Negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memang memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Feminis Liberal, perempuan cenderung berada didalam negara hanya sebatas warga negara, bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminis Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.
Naomi Wolf adalah salah satu feminis liberalyang mengatakan bahwaFeminisme sebagai Kekuatan merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada laki-laki.
Feminis liberal berupaya untuk menyadarkan perempuan bahwaperempuan adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan perempuandisektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan perempuan pada posisi sub-ordinat. Perempuan diarahkan untukkeluar dari wilayah privat (rumah), berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada laki-laki.
Akar teori ini mengacu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang setara dengan laki-laki. Wollstonecraft dalam bukunya A Vindication of the Rights of Woman mendorong perempuan untuk menjadi pembuat keputusan yang otonom. Disamping itu, ia secara terus menerus menekaankan, bahwa jalan menuju otonom harus ditempuh melalui pendidikan.[2]
Pada abad 19, banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak politikdan kesempatan ekonomi yang setara bagi perempuan. Pemikiran yang dipelopori oleh John Stuart Mill dan Harriet Taylor tetap memiliki kesamaan dengan pemikiran Wollstonecraft. Mill dan Taylor berangkat dari Wollstonecraft dalam keyakinan mereka, bahwa jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual, atau keadilan gender, maka masyarakat harus memberikan perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan yang sama yang dinikmati oleh laki-laki.[3] Sedangkan pada abad 20, pemikiran sudah mulai menjadi gerakan. Banyak organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Mill dan Taylor yakin bahwa perempuan harus memiliki hak pilih agar dapat menjadi setara dengan laki-laki. Dapat memilih, menurut keduanya, berarti berada dalam posisi yang tidak hanya untuk mengekspresikan pandangaan politik personal seseorang. Akan tetapi juga hak untuk ikut mengganti sistem, struktur, dan sikap yang memberikan kontribusi terhadap opresi yang lain atau opresi terhadap diri sendiri.
Dalam konteks Indonesia, pada abad 18 sudah ada Raden Ajeng Kartini yang memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan.[4] Sebelumnya, sekitar abad 17 juga sudah ada Rohana Kudus di tanah Minang.[5] Namun perjuangan Rohana Kudus memang tidak terlalu sulit, sebab sejak awal masyarakat minang menganut budaya matrineal yang lebih menguntungkan bagi kaum perempuan. Gerakan feminisme terus berkembang dan mengalami puncaknya pada masa reformasi yang menghendaki terciptanya kesetaraan demokrasi. Kesetaraan baru terlihat secara nyata ketika Megawati menjadi wakil presiden pada tahun 1999, dan menjadi presiden pada tahun 2001. Namun banyak kalangan yang berkeyakinan bahwa keberhasilan Megawati menjadi wakil presiden dan akhirnya menjadi presiden bukan murni atas pemberian kepercayaan terhadap perempuan. Melainkan hanya karena ia adalah putri Bung Karno, proklamator bangsa ini. Terlepas dari semua argumen tersebut, naiknya Megawati menjadi presiden telah membawa pencerahan baru terhadap pergerakan politik perempuan.
Gerakan politik perempuan pun akhirnya berkembang, pada tingkat undang-undang dan peraturan Pemilu. Reformasi hukum yang berprerspektif keadilan akhirnya lahir melalui desakan kuota 30% bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal. Pada dasarnya feminis liberal menginginkan bahwa perempuan harus terus memperjuangkan hak politiknya. Hak politik yang dimaksud bukan hanya hak untuk memilih, tapi juga hak untuk ikut serta sebagi aktor. Perempuan harus ikut serta dalam pembuatan kebijakan yang akan diterapkan untuk masyarakat umum. Perempuan harus senantiasa berpartisipasi secara aktif, yang artinya masuk keranah politik. Namun feminis liberal menekankan, bahwa upaya tersebut dapat dicapai melalui pendidikan. Perempuan harus belajar secara formal setinggi-tingginya, sebab banyak alasan sebelumnya bahwa perempuan tidak mampu karena mereka tidak sekolah. Jika perempuan telah diberikan hak untuk mendapat pendidikan, maka mereka juga memiliki kapasitas seperti laki-laki. Apabila perempuan sudah memiliki kemampuan, maka ia harus berjuang untuk mendapatkan halk politiknya seperti yang didapatkan oleh laki-laki.
22.    Feminisme Psikoanalisis
Feminis psikoanalisis lebih memfokuskan diri pada faktor mikrokosmos seorang individu, ketimbang faktor makrokosmos (patriarki dan kapitalisme). Aliran ini mengklaim bahwa akar opresi terhadap perempuan adalah sesungguhnya tertanam dalam psike seorang perempuan.[6]
Feminis psikoanalisis fokus pada peran seksualitas dalam opresiterhadap perempuan muncul dari teori Freud, yaitu hubungan antara ibu dengan anak (bayi) yang kemudian membentuk psike seorang anak atau biasa disebut masa pra-oedipal. Hubungan antara ibu dan anak adalah hubungan yang ambivalen, karena ibu pada waktu tertentu memberikan terlalu banyak dan kehadirannya terlalu membuaikan. Sementara pada waktu lain ibu memberikan terlalu sedikit, dan ketidakhadirannya mengecewakan. Tahap ini berakhir dengan apa yang disebut sebagai kompleks Oedipus, suatu proses yang membuat anak laki-laki meninggalkan objek cinta pertamanya, yaitu ibunya. Proses inilah yang merupakan salah satu faktor munculnya opresi terhadap perempuan.
Anak bayi perempuan juga mengalami hal yang sama dengan anak bayi laki-laki. Mereka sama-sama mendapat cinta yang berlebihan, dan kemudian sama-sama kehilangan cinta itu. Akan tetapi keduanya memiliki perbedaan, ketika mereka beranjak dewasa atau masa oedipal. Anak perempuan memiliki cinta pertama yang sama dengan anak laki-laki, yaitu ibunya (perempuan). Tetapi ketika beranjak dewasa, anak perempuan harus berpindah untuk belajar mencintai laki-laki. Namun mereka, perempuan, tidak semudah laki-laki untuk mencintai. Sebab mereka memiliki satu kekurangan, yakni tidak memiliki penis. Mereka cenderung lebih ingin untuk dicintai oleh laki-laki. Oleh sebab itu, mereka selalu berusaha untuk tampil cantik. Semakin cantik seorang perempuan, semakin tinggi tuntutan dan harapannya untuk dicintai. Anak perempuan lebih memfokuskan diri pada penampilan fisiknya, seolah-olah penampilan yang baik akan dapat menutupi kekurangannya. Akhirnya anak perempuan menjadi korban dari rasa malu (shame) yang dibesar-besarkan.[7] Rasa malu yang dibesar-besarkan tersebut terbawa sampai mereka dewasa, sehingga akan selalu muncul rasa minder ketika ingin berinteraksi dengan dunia luar. Rasa minder menghantui mereka untuk bekerja disektor publik apalagi harus masuk keranah politik yang sejak semula sudah didominasi oleh laki-laki. Kondisi yang sedemikian rupa itulah yang pada akhirnya membuat mereka mengalami opresi, khusunya dari pihak laki-laki.
Dengan melihat asumsi diatas, berarti opresi terhadap perempuan sudah dimulai dari dalam keluarga bahkan sejak seorang anak belum dewasa. Yang lebih ironis adalah bahwa proses tersebut dilakukan oleh perempuan (ibu). Opresi yang terjadi sejak dini tersebut telah membangun rasa malu dan rasa tidak percaya dalam diri (self) perempuan itu sendiri. Hal tersebutlah yang membuat perempuan enggan untuk masuk lebih jauh kedalam sektor publik, apalagi untuk masuk keranah politik.

Feminisme liberal digunakan untuk mendekati masalah gerakan perempuan dalam merespon kebebasan berpolitik yang diberikan kepada mereka. Hal tersebut karena feminisme liberal bertumpu pada pencapaian kebebasan dan kesetaraan, yang berakar pada pemisahan antara sektor privat dan sektor publik. Feminis liberal lebih melihat pada upaya yang dilakukan oleh objek atau aspek diluar perempuan itu sendiri, dalam hal ini adalah negara atau laki-laki dalam konteks yang lebih kecil. Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, bahwa peneliti juga akan melihat bagaimana sistem yang ada diluar diri perempuan memberikan hak politik terhadap perempuan. Untuk melihat permasalahan tersebutlah, sehingga penulis menggunakan paradigma feminisme liberal dalam penelitian ini.
Rumusan masalah yang kedua adalah mengenai tindakan atau gerakan yang dilakukan oleh perempuan itu sendiri dalam memperjuangkan hak politiknya. Gerakan tersebut berkaitan erat dengan pribadi (self) perempuan itu. Apakah mereka sudah berjuang untuk mendapatkan hak dan posisi yang sesuai dengan kompetensi mereka, atau mereka masih pasrah terhadap apa yang diberikan oleh laki-laki. Permasalahan ini sangat tepat jika dilihat dari paradigma feminisme psikoanalisis, sebab paradigma ini melihat psike atau jiwa dari perempuan itu sendiri. Gerakan yang dilakukan oleh perempuan, baik di legislatif, eksekutif, yudikatif maupun dalam partai politik di Sulawesi Selatan, sangat tergantung dari psike mereka.



[1] Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hal. 236
[2] Rosemarie Putman Tong, Loc.Cit, hal.21
[3] Rosemarie Putman Tong, Loc.Cit, hal.23
[4]  Sekarang menjadi Provinsi Sumatera Barat
[5] Rosemarie Putman tong, Loc.cit, hal 7
[6] Rosemarie Putman Tong, Loc.cit, hal 195

Teori Ekonomi Politik

Perspektif ekonomi politik sebagai sebuah konsep untuk menjelaskan dan menganalisa prinsip-prinsip dalam mengatur the production, distribution, and the exchange of wealth, harus diakui bahwa perspektif ekonomi politik bukanlah perspektif yang baru, karena ia telah eksis sejak abad ke-16. Dan ini terbukti yaitu pada tahun 1775 Adam Smith secara transparan telah memperkenalkan dasar-dasar pemikiran ekonomi politik dalam sebuah karyanya yang dikenal dengan konsep The Wealth Of Nation. Pada perkembangan berikutnya, john s. mill (1874) dalam bukunya yang berjudul The Principal Of Political Economy, mencoba lebih untuk membahas secara spesifik tentang prinsip-prinsi dasar dari the production, distribution, dan the exchange of wealth, serta aplikasinya dalam kehidupan bernegara. Hal serupa juga dilakukan oleh Hendry Fawcett (1883) dalam bukunya yang berjudul Manual of political economy.

Seperti yang dikemukakan sebelumnya, maka tidak dapat dihindari bila kemudian prspektif ekonomi politik pada tahap awal perkembangannya telah lebih banyak dipengaruhi oleh disiplin ilmu ekonomi. Sejalan dengan tahap-tahap perkembangan teori dalam disiplin ilmu ekonomi itu sendiri, kiranya juga dapat dimengerti bila perspektf ekonomi politik pada saat itu sangat dipengaruhi oleh dasar – dasar pemikiran dari mazhab ekonomi politik klasik yang antara lain menekankan pada pentingnya meminimalkan peran Negara dalam mengatur mekanisme perekonomian. Pada konteks inilah kita sampai pada pemahaman dan sekaligus penjelasan tentang mengapa konsep ekonomi politik yang dikemukakan oleh Adam Smith (1775), John S. Mill (1874), dan Hendry Fawcet (1883) telah di kategorikan sebagai perspektif ekonomi politik klasik.Ekonomi politik terdiri dari 2 perspektif yaitu: perspektif ekonomi politik klasik dan perspektif ekonomi neo-klasik.
• Perspektif ekonomi politik klasik. Secara singkat perspektif klasik mendefinisikan ekonomi politik sebagai ilmu yang mempelajari tentang prinsip-prinsip yang diterapkan dalam mengatur produksi, distribusi dan pertukaran dari wealth. Ini berarti secara implisit, mengisyaratkan bahwa ruang lingkup kajian dari ilmu ekonomi politik berdasarkan perspektif klasik adalah mengkaji proses produksi, mekanisme distibusi serta pertukaran dari wealth.
• Perspektif ekonomi politik neo-klasik. Secara singkat perspektif ekonomi politik neo-klasik yaitu para teoritisi ekonomi politik menjelaskan perilaku para birokrat, maka mereka mengatakan bahwa dalam dalam upaya untuk mewujudkan pencapaian berbagai tujuan individu para birokrat cenderung untuk memaksimalkan sumber daya ekonomi. Dengan kata lain perspektif neo-klasik digunakan untuk mencapakai kemakmuran individu dalam pencapaian jangka pendek.

Ada 2 perbedaan utama yang dimiliki oleh perspektif ekonomi neo-klasik dibandingkan dengan perspektif ekonomi klasik yaitu :
a. Landasan teori yang digunakan lebih kompleks.
b. Fokus perhatian lebih dititikberatkan pada mengkaji perilaku para penyelenggara Negara (state actors) dan aktor-aktor dari kalangan masyarakat (society actors) baik dalam proses pengambilan kebijaksanaan publik maupun pada tahap implementasinya.

Teori – teori ekonomi politik. Teori ekonomi politik telah berkembang pesat karena dianggap relevan dengan praktik formulasi kebijakan maupun kegiatan ekonomi sehari-hari. Salah satu sumber kemajuan ekonomi politik juga berasal dari kenyataan gagalnya teori ekonomi konvensional untuk memetakan dan mencari solusi persoalan-persoalan ekonomi. banyak persoalan ekonomi yang gagal merampungkan masalah pendekatan ekonomi konvensional yang gagal.Dalam situasi inilah teori ekonomi politik masuk untuk memberikan alternative pemecahan pada 3 teori ekonomi politik yang cukup popular yaitu teori pilihan publik, teori rent-seeking dan teori redistributive combine dan keadilan.

1. Teori pilihan publik. Pendekatan ekonomi politik baru yang menganggap Negara/pemerintah, politisi, atau birokrat sebagai agen yang memiliki kepentingan sendiri merupakan pemicu lahirnya pendekatan public choice atau rational choice. Public choice tergolong ke dalam kelompok ilmu ekonomi politik baru yang berusaha menkaji tindakan rasional dari aktor-aktor politik, baik di lembaga parlemen, pemerintah, lembaga kepresidenan, masyarakat pemilih, dan lain sebagainya.Teori pilihan publik ini mendeskripsikan bahwa “secara tipikal ahli ekonomi politik melihat politik dalam wujud demokrasi, yang memberi ruang untuk saling melakukan pertukaran diantara masyarakat, partai politik, pemerintah dan birokrat.” 

Dalam konsep tersebut masyarakat pemilih diposisikan sebagai pembeli barang-barang kolektif (publik) sedangkan pemerintah dan partai politik dipertimbangkan sebagai alternatif penyedia kebijakan public “(barang dan jasa). Sehingga dalam jangka panjang mereka bias memungut dukungan dari pemilih lewat pemilihan umum.Banyak pandangan menyatakan bahwa teori pilihan public hanya ampuh digunakan untuk setiap formulasi kebijakan dan dukungan dianggap sebagai proses distribusi nisbah ekonomi melalui pasar politik. Pada level yang lebih luas, teori pilihan public bias diterjemahkan sebagai aplikasi metode ekonomi terhadap politik.Secara esensi teori pilihan publik berusaha untuk mengaplikasikan perangkat analisis ekonomi ke dalam proses non pasar atau politik dibawah formulasi dan implementasi kebijakan publik. 

Teori pilihan publik berbeda dengan ilmu ekonomi konvensional, perbedaan tersebut bukan dalam hal konsepsinya terhadap individu dan aspek kekuatan motivasi melainkan dalam hal rintangan-rintangan dan kesempatan-kesempatan yang datang dari sisi politik (sebagai lawan pasar).Dalam pendekatan yang spesifik ekonomi sebagai pertukaran pasar, produksi dan konsumsi dan politik menganalisis interaksi para pelaku dalam lembaga-lembaga yang sudah mapan seperti amerika serikat (US). Dalam level analisis teori pilihan public dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu :
a. Teori pilihan publik normatif, yaitu teori yang fokus pada isu-isu yang terkait dengan desain politik dan aturan – aturan politik dasar.
b.Teori pilihan publik positif, yaitu teori yang mengkonsentrasikan untuk menjelaskan perilaku politik yang dapat diamati dalam wujud teori pilihan. 

Empat asumsi umum dalam teori pilihan publik yaitu :
a. Kecukupan kepentingan material individu memotivasi adanya perilaku ekonomi.
b. Motif kecukupan tersebut lebih mudah dipahami dengan menggunakan teori ekonomi neoklasik.
c. Kecukupan kepentingan material individu yang sama memotivasi adanya perilaku politik.
d. Asumsi kecukupan kepentingan yang sama tersebut lebih mudah dipahami dengan menggunakan teori ekonomi neoklasik. 
Teori pilihan publik secara umum digunakan dalam berbagi disiplin ilmu dengan nama yang berbeda seperti :
- Public choice (ilmu politik).
- Rational choice theory (ilmu ekonomi dan sosiologi).
- Expected utility theory (ilmu psikologi)

Pengertian rasional tersebut diaplikasikan kedalam banyak konsep, misalnya :
- Keyakinan (beliefs)
- Preferensi (preferences)
- Pilihan (choices)
- Tindakan (actions)
- Pola perilaku (behavioral patterns)
- Individu (persons). 

Dalam operasionalisasinya pendekatan pilihan publik dibedakan dalam dua bagian yaitu supply dan demand. Dalam sisi penawaran (supply) terdapat dua subjek yang berperan dalam formulasi kebijakan yakni pusat kekuasaan yang dipilih (elected centers of power) dan pusat kekuasaan yang tidak dipilih (non-elected centers of power). Pada sisi permintaan (demand), aktornya juga bias dipilah dalam dua kategori yakni pemilih (voters) dan kelompok-kelompok penekan (pressure groups). Kontribusi terbesar dari teori pilihan publik adalah kemampuannya untuk menunjukkan bahwa politisi-politisi dalam setiap tindakannya selau dimotivasi oleh kepentingan pribadi. 

Teori pilihan publik melihat politisi sebagai pelaku yang cenderung memaksimalkan kepuasan pribadi yang dimotivasi oleh banyak factor seperti gaji, reputasi publik, kekuasaan, dan ruang untuk mengontrol birokrasi. Berikut ini adalah perbandingan paradigma ekonomi klasik dan pilihan publik : 
Variabel Ekonomi klasik Pilihan publik Pemasok (supplier); Produsen, pengusaha, distributor. Politisi, parpol, birokrasi, pemerintah. Peminta (demander), Konsumen Pemilih (voters), Jenis komoditas Komoditas individu (private goods) Komoditas publik (public goods), Alat transaksi Uang Suara (vote) 
Jenis transaksi Transaksi sukarela Politik sebagai pertukaran. Menurut o’dowd bahwa kegagalan pemerintah bias diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu 
:- Ketidakmungkinan yang melekat/otomatis (inherent impossibilities)
- Kegagalan politik (political failures)
- Kegagalan birokrasi (bureaucratic failures).
Tipologi dari kegagalan pemerintah dapat diklasifikasikan dalam 4 kegagalan. Yaitu :
- Kegagalan legislatif (legislative failure), yakni kehadiran pengeluaran publik (Negara) yang berlebihan diakibatkan oleh perilaku memaksimalkan suara para politisi.
- Kegagalan administratif (dministrative failure), yakni pengamatan bahwa administrasi hukum yang memerlukan diskresi dan kombinasi dari tindakan informasi dan insentif untuk mempengaruhi jalur diskretif tersebut seringkali harus dilatih.
- Kegagalan system pengadilan (judicial failure), yakni terjadi ketika system hukum legal tidak menghasilkan pencapaian ekonomi yang optimal.
- Kegagalan penegakan (enforcement failure), yakni penegakkan dan non-penegakkan yang kurang optimal dari pengadilan, legislatif atau arahan administrasi sehingga mempengaruhi efektifitas dari tindakan-tindakan.

2. Teori rent-seeking. Konsep pendapatan (income) ditransformasikan menjadi menjadi konsep perburuan rente, konsep ini sangat penting bagi ilmu ekonomi politik untuk menjelaskan perilaku pengusaha, politisi, dan kelompok kepentingan.Teori rent-seeking pertama kali diperkenalkan oleh Krueger (1974) yaitu membahas tentang praktik untuk memperoleh kuota impor yang kuota sendiri bisa dimaknai sebagai perbedaan antara harga batas/border price dan harga domestic. Dalam pengertian diatas perilaku mncari rente dianggap sebagai pengeluaran sumber daya untuk mengubah kebijakan ekonomiagar dapat memberikan keuntungan kepada pemburu rente (rent-seeker). 

Secara teoritis, kegiatan mencari rente (rent-seeking) harus dimaknai secara netral karena individu atau kelompok bisa memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang legal/sah, seperti menyewakan tanah, modal dan lain-lain.Konsep rent-seeking dalam teori ekonomi politik klasik tidak dimaknai secara negatif sebagai kegiatan ekonomi yang menimbulkan kerugian bahkan bisa berarti positif karena dapat memacu kegiatan ekonomi secara simultan, seperti halnya seseorang yang ingin mendapatkan laba maupun upah. Asumsi awal yang dibangun dari ekonomi politik adalah bahwa setiap kelompok kepentingan berupaya untuk mendapaykan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dengan upaya yang sekecil-kecilnya.

Kegiatan mencari rente atau rent-seeking didefenisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah. Menurut Prasad rent-seeking merupakan proses dimana individu memperoleh pendapatan tanpa secara actual meningkatkan produktivitas atau malah mengurangi produktivitas tersebut. Untuk kasus Indonesia misalnya dalam pemerintahan orde baru, rent-seeeking tersebut bisa ditelusuri dari persekutuan bisnis besar (yang menikmati fasilitas monopoli maupun lisensi impor) dengan birokrasi pemerintah.Krueger menerangkan bahwa aktivitas mencari rente sperti lobi untuk mendapatkan lisensi atau surat izin akan menndistorsi alokasi sumber daya sehingga membuat ekonomi menjadi tidak efisien. Bila kebijakan lisensi impor yang dipakai maka proses pembuatan kebijakan tersebut akan mudah dimasuki oleh pemburu rente sehingga hanya individu yang memiliki akses terhadap pembuat kebijakan yang akan mendapatkan keuntungan dari kebijakan tersebut seperti memiliki izin isensi impor. Perilaku rented pat di kurangi apabila dapat mengubah kebijakan lisensi impor menjadi kebijakan tarif, membuka aliran informasi, mengaplikasikan sanksi moral dan menerapkan kebijakan liberalisasi dan privatisasi yang terukur.

3Teori redistributive combines dan keadilan Joseph stigler mengemukakan bahwa teori ini memusatkan perhatiannya untuk menerangkan siapa yang mendapatkan manfaat dan siapa yang menanggung beban akibat adanya suatu regulasi atau aturan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah ataupun yang terjadi karena institusionalisasi yang terjadi didalam masyarakat.Menurut stigler ada 2 alternatif pandangan tentang bagaimana sebuah peraturan diberlakukan, yaitu :- Peraturan dilembagakan terutama untuk menberlakukan proteksi dan kemanfaatan tertentu untuk publik atau sebagian sebagian sub-kelas dari publik tersebut.- Suatu tipe analisis dimana proses politik dianggap merupakan suatu penjelasan yang rasional.Kembali kepada masalah pemanfaatan hukum bagi kepentingan kelompok tertentu, saat ini perkembangannya sudah sedemikian memuncak sehingga pembentukkan organisasi untuk memperoleh pendapatan dengan Cuma-Cuma yang dibagikan oleh Negara atau disalurkan melalui system hukum atau setidaknya untuk melindungi sendiri dari proses ini dengan membentuk apa yang dinamakan redistributive combines.

Perubahan-perubahan pada susunan dan pimpinan puncak direksi perusahaan sering disebabkan oleh perubahan dalam pemerintah. Kelompok-kelompok ini sering bertarung satu sama lain untuk menjaga jangan sampai suatu peraturan baru mengancam kepentingan mereka tetapi juga dapat menguntungkan.Menurut rachbini dalam pola redistributive combine ini merupakan sumber-sumber ekonomi, asset produktif dan modal didistribusikan secara terbatas hanya dilingkungan segelintir orang. Dalam kerangka pemikiran hernando de soto berlakunya pola redistributive combine terjadi akibat sistem politik yang tertutup karena dilindungi sistem hukum yang kabur dan ketiadaan rule of law dibidang ekonomi. dengan demikian sistem ekonomi bersedia mengabdi pada sistem politik dengan pola redistributive combines.

Disamping itu juga terhubungnya teori redistributive combines yang dekembangkan oleh hernando de soto dengan teori keadilan yang dibangun oleh john rawls. Relasi antara dua relasi ini bisa dilack dari 2 logika, yaitu :
Teori redistributive combines mengandaikan adanya otoritas penuh dari Negara/pemerintah untuk mengalokasikan kebijakan kepada kelompok-kelompok ekonomi yang berkepentingan terhadap kebijakan tersebut. Akibatnya kebijakan yang muncul sebagai hasil dari interaksi antara kelompok kepentingan ekonomi dan pemerintah kerapkali Cuma menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain, jadi disini muncu isu ketidakadilan.
- Kelompok kepentingan ekonomi yang eksis tidak selamanya mengandaikan tingkat kemerataan seperti yang diharapkan, khususnya masalah kekuatan ekonomi.

Dengan pemahaman tersebut, rawls akhirnya mengonseptualisasikan teori keadilan yang bertolak dari 2 prinsip,yaitu :
- Setiap orang harus memounyai hak yang sama terhadap skema kebebasan dasar yang sejajar (equal basic liberties), yang sekaligus kompatibel dengan skema kebebasan yang dimiliki oleh orang lain.
- Ketimpangan social dan ekonomi harus ditangani sehingga keduanya :
a. Diekspetasikan secara logis menguntungkn bagi setiap orang.
b. Dicantumkan posisi dan jabatan yang terbuka bagi seluruh pihak.Melalui cara berpikir tersebut, rawls percaya bahwa suatu kebaikan datang dari sesuatu yang benar dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu dia memfokuskan seluruh pemikirannya untuk menciptakan sistem prinsip-prinsip politik yang berbasis kontrak dan kesetaraan. 

Prinsip inilah yang kemudian membedakan konsep keadilan procedural dengan prinsip keadilan social yang di kembangkan oleh rawls. Keadilan sosial ini diarahkan pada penyiapan penilaian terhadap sebuah standar aspek distribusi dari struktur dasar masyarakat. Hal ini terjadi karena prinsip- prinsip keadilan tersebut seperti yang di klaim oleh rawls akan menghasilkan kesepakatan dan negosiasi yang imparsial, yakni situasi yang di desain untuk memperkuat ketiadaan kepentingan perwakilan yang dapat dibebankan kepada pihak lain. Poin inilah yang menjadi kunci dari teori keadilan yang digagas oleh rawls.

Selain itu, dalam kaitannya dengan pasar bebas (liberalisasi), teori keadilan rawls merupakan kritik terhadap teori keadilannya adam smith. Rawls sependapat bahwa sistem tentang pasar bebas sejalan dengan prinsip pertama keadilannya yakni sejalan dengan kebebasan yang sama dan kesamaan kesempatan yang fair. Rawls juga setuju dengan konsep Smith mengenai perwujudan diri manusia sesuai dengan pilihan bebas dan usaha setiap orang. Ia juga spakat dengan smith bahwa pasar bebas menyediakan kemungkinan terbaik bagi perwujudan penentuan diri manusia. 

Namun, rawls melihat bahwa terlepas dari realitas bahwa pasar bebas sejalan dengan prinsip pertama dari konsep keadilannya, mekanisme pasar bebas gagal berfungsi secara baik paling kurang dalam pengertian sebagai berikut :“ dalam kebebasa kodrati memang ada kesamaan kesmpatan yang formal, dalam pengertian bahwa semua orang paling kurang mempunyai hak legal yang sama untuk akses pada semua kedudukan social yang menguntungkan tetapi karena tidak ada usaha untuk mempertahankan suatu kesamaan atau kemiripan, kondisi social, distribusi awal dari suatu aset-aset untuk untuk suatu periode tertentu sangat di pengaruhi oleh keadaan alamiah dan social yang kebetulan. Distribusi pendapatan dan kemakmuran yang ada, demikian dapat diartikan merupakan akibat kumulatif dari distribusi aset alamiah yaitu bakat dan kemampuan sebelum distribusi pasar bebas.”

Oleh karena itu menurut Rawls, pasar bebas justru menimbulkan ketidak adilan. Bagi rawls keyidak adilan paling jelas dari sistem kebebasan kodrati adalah bahwa sistem ini mengizinkan pembagian kekayaan dipengaruhi secara tidak tepat oleh kondisi-kondisi alamiah dan social yang kebetulan ini, yang dari sudut pandang moral sedemikian sewenang-wenang.Menurut rawls, karena setiap orang masukkedalam pasar dengan bakat dan kemampuan alamiah yang berlainan, peluang sama yang diberikan pasar tidak akan menguntungkan semua peserta. Keadilan ini justru akan menimbulkan distribusi yang tidak adil atas kebutuhan-kebutuhab hidup, justru karena perbedaan bakat dan kondisi-kondisi social yang kebetulan tadi. Terlepas dari perbaikan kndisi sosial yang ada, pasar bebas akan melahirkan kepincangan karena perbedaan bakat dan kemampuan alamiah antara satu orang dengan yang lainnya. Oleh karena itu bagi rawls pasar justru merupakan pranata yang tidak adil.
Subscribe me on RSS