Home » , » FEMINISME : EMPIRIS, ANALITIK, NORMATIF

FEMINISME : EMPIRIS, ANALITIK, NORMATIF

Teori feminis muncul dalam Ilmu Politik sejak tahun 1990an. Teori ini mencoba untuk melawan dominasi dari kaum pria yang dianggap berlebih. Bersama dengan teori kritis, postmodernisme, konstruktivisme, dan green politics, feminisme mencoba untuk bersaing dengan teori-teorimainstream seperti realis dan liberalis. Seperti halnya teori-teori kontemporer lain, feminisme membahas Hubungan Internasional jauh dari fokus tunggal pada hubungan antar negara menuju analisis komprehensif aktor transnasional dan struktur dan transformasinya dalam politik global (True:2001).

Sejak tahun 1980an sarjana Ilmu Politik yang mendalami tentang feminisme telah menawarkan pengetahuan yang segar dan menarik tantang politik global. Hubungan internasional juga berkaitan dengan feminisme. Seperti dinamika gender yang dapat mempengaruhi proses militerisasi dan ekonomi globalisasi. Cyntia Enloe (1989) berpendapat bahwa politik internasional sering melibatkan hubungan intim, identitas pribadi, dan kehidupan pribadi. Hal ini dianggap kurang transparan dan tidak normal oleh para penstudi Hubungan Internasional, oleh karena itu tidak jarang teori ini sering kali diabaikan oleh para penstudi tersebut. Mengambil pandangan dari bawah, kaum feminisme berusaha untuk menguhubungkan antara gender dengan hubungan internasional. Seperti kontrak perkawinan yang dipercaya sebagai fasilitator pencucian uang lintas negara dan perdagangan manusia. Peran gereja dan keluarga masyarakat untuk menggulingkan rezim otoriter dan melakukan perdamaian, dsb.

Generasi pertama feminisme muncul pada tahun 1980an. Mereka berusaha untuk menumbangkan dan mendekonstruksi pemikiran-pemikiran realisme yang seakan menjadi teori yang paling dominan setelah terjadinya Perang Dunia. Setelah itu pada tahun 1990an mulai muncul berbagai karya dari para sarjana feminisme seperti Tickner, Sylvester, Pettman, Steans, Peterson, dan Runyan. Generasi kedua feminisme muncul mulai akhir 1990an. Mereka lebih hati-hati dalam menggunakan analisis dan mulai mengaitkan dirinya pada perkembangan dunia internasional. Mereka juga menghasilkan wawasan teoretis baru tentang politik global.

Feminisme sendiri dapat dibagi menjadi tiga bagian kelompok. Yang pertama adalah feminisme empiris. Mereka berusaha untuk menjadikan feminisme sebagai aspek empiris dalam hubungan internasional. Feminisme empiris mengoreksi penolakan dan penafsiran yang salah atas wanita di dunia tentang kesalahan asumsi jika pengalaman laki-laki dapat mengatur baik pria maupun wanita dan menganggap perempuan absen dari dunia internasional dan tidak relevan dalam proses global (True:2001). Padahal tidak sepenuhnya seperti itu. Wanita akan selalu manjadi bagian dalam hubungan internasional. Wanita tidak dianggap ini lebih karena kehidupan dan pengalaman perempuan belum secara empiris diteliti dalam konteks politik dunia. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Grant dan Newland (1991) bahwa Hubungan Internasinal selama ini terlalu terfokus pada konflik dan anarki.

Pada mulanya penelitian feminisme bukan merupakan penelitan empiris. Sarjana feminisme memerlukan kejelasan konseptual yang lebih besar dari yang diperlukan untuk teoritis kritik untuk melakukan penelitian empiris (True:2001). Kemudian sejak tahun 1990an penilitian empiris feminisme mulai muncul. Seperti studi “Woman in International Development” (WID) dan juga Gender and Development (GAD). Studi empiris menunjukkan bahwa alokasi yang paling efisien untuk bantuan pembangunan sering untuk melayani wanita dengan teknologi pertanian yang tepat, pembiayaan kredit, pendidikan, dan sumber daya (True:2001).

Studi empiris feminis juga mengungkapkan konstruksi gender dalam organisasi internasional dimana yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki saat ini mulai berubah dengan semakin banyaknya perempuan yang terlibat dalam organisasi internasional. Selain itu penelitian feminis mengungkapkan bahwa negara-negara dengan ketimpangan gender yang besar berakibat pada keterlibatan negara tersebut dalam berperang dan aksi kekerasan menjadi lebih besar juga.

Kemudian kelompok feminisme kedua adalah feminisme analitis. Feminisme analitis mendekonstruksi kerangka teoretis Hubungan Internasional, mengungkapkan bias gender yang meliputi konsep kunci dan menghambat pemahaman yang akurat dan komprehensif hubungan internasional (True:2001). Pada feminisme analitis tidak memandang gender sebagai pembedaan secara biologis pria dan wanita melainkan lebih kepada konstruksi sosial terhadap maskulinitas-feminimitas. Para hegemonik barat memandang maskulinitas sangat cocok dengan otonomi, kedaulatan, objektivitas, dan universalisme, sedangkan feminitas dianggap tidak memiliki kesemua karakter tersebut. Dengan begitu maskulinitas seolah-olah telah tertanam pada suatu institusi. Analisis feminis berpendapat bahwa kemerdekaan politik domestik dari politik internasional dan pemisahan publik dari ruang privat tidak dapat menjadi dasar untuk batas disiplin, karena anarki diluar biasanya mendukung hirarki gender di rumah dan begitu juga sebaliknya (True:2001).

Yang ketiga adalah feminime normatif. Feminisme normatif mencerminkan pada proses Hubungan Internasional berteori sebagai bagian dari agenda normatif bagi perubahan global (True:2001). Feminisme melihat konteks sosial politik sebagai bagian dari penjelasan teoretik. Feminisme tidak hanya berisi dengan hal-hal yang empiris melainkan tentu saja hal-hal normatif. Feminisme normatif ini membawa hal-hal yang normatif seperti etika dan aktvisme sosial perempuan. Perpektif normatif juga memandang perbedaan gender tida hanya tentang hubungan maskulin-feminin tetapi juga politik pengetahuan.

Sumber :

True, Jacqui, 2001. Feminism, in; Scott Burchill, et al, Theories of International Relations, Palgrave, pp. 231-276

Penulis: Gemapol

Artikel FEMINISME : EMPIRIS, ANALITIK, NORMATIF , diterbitkan oleh Gemapol pada hari Kamis, 05 Juni 2014 . Semoga artikel ini dapat menambah wawasan Anda. Salam Gemapol

0 komentar :

Posting Komentar

Subscribe me on RSS