Home » , » Demokrasi dan Pendekatan Budaya

Demokrasi dan Pendekatan Budaya

Arti, Ciri-Ciri, Dan Prinsip Demokrasi

Pengertian demokrasi:
Secara etimologi, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata demos(rakyat) dan kratos(pemerintah). Jadi, demokrasi berarti pemerintahan rakyat
Secara umum, demokrasi adalah system pemerintahan yang melibatkan rakyat dalam berlangsungnya pemerintahan.
Menurut Abraham Lincoln, demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Ciri-ciri demokrasi:
  1. Adanya jaminan HAM (pasal 28A-J UUD 1945)
  2. Adanya jaminan kemerdekaan bagi warga Negara untuk berkumpuldan beroposisi
  3. Perlakuan dan kedudukan sama bagi seluruh warga negara dalam hukum (pasal 27 ayat 1 UUD)
  4. Kekuasaan yang dikontrol oleh rakyat melalui perwakilan yang dipilih rakyat
  5. Jaminan kekuasaan yang telah disepakati bersama
Prinsip-prinsip demokrasi:
  1. Kekuasaan pemerintah dibatasi oleh konstitusi
  2. Pemilu yang bebas, jujur, dan adil (agar mendapat wakil rakyat yang sesuai aspirasi rakyat)
  3. Jaminan Hak Asasi Manusia
  4. Persamaan kedudukan di depan hukum
  5. Peradilan yang jujur dan tidak memihak untuk mencapai keadilan
  6. Kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat
  7. Kebebasan pers
Diskursus dan diskusi umum mengenai hubungan antara demokrasi dengan toleransi atau sikap toleran harus dimasukkan ke dalam kerangka makro-nya, yaitu pendekatan kultural terhadap demokrasi dan sistem politik lainnya. Pendekatan kultural terhadap demokrasi harus diakui lebih terasa kaya makna dan kreatif (more nuanced), di tengah hegemoni pendekatan struktural dan/atau institusional terhadap demokrasi atau sistem politik lainnya.
Pendekatan kultural ini memiliki jejak cukup panjang dalam kajian sosial, dan secara khusus mengenai demokrasi atau sistem politik khususnya di era 1940 an dan 1950 an, seperti Gabriel Almond, Sydney Verba, Lucian Pye, dan Martin Lipset, dan yang sedikit baru kemunculannya adalah Lawrence Harrison. Kajian budaya terhadap isu sosial, dengan mengedepankan isu demokratisasi, modernisasi, dan globalisasi, banyak merujuk tokoh-tokoh ternama, seperti Robert Putnam, Francis Fukuyama, Robert Kaplan dan tentunya Samuel Hantington (Zuhroh 2011; Huntington 1991, 1968). Kajian kultural secara umum lebih menekankan faktor-faktor budaya dan juga sosio-ekonomis dalam menjelaskan demokrasi. Pada sisi lain, pendekatan struktural-instutisional banyak berkutat pada pembangunan dan penataan institusi-institusi politik.
Secara khusus, misalnya, studi yang dilakukan oleh Lipset pada tahun 1959, yang secara jelas banyak dipengaruhi dominasi teori modernisasi pada saat itu, lebih banyak didasarkan pada hubungan antara income per-capita dengan demokrasi. Lipset secara khusus berargumentasi bahwa demokrasi itu muncul dalam masyarakat yang telah me-modernisasi. Modernisasi sendiri, dalam konteks ini, dapat dimaknai sebagai suatu proses yang identik dengan urbanisasi, industrialisasi, pentingnya peningkatan pendidikan, dsb. Beberapa penemuan penting Lipset yang mendukung arguemntasinya tersebut adalah, diantaranya, negara yang kaya cenderung lebih demokratis; negara yang penduduknya lebih berpendidikan cenderung lebih demokratis; dsb. (Lispset 1959). Sejalan dengan Lipset adalah pendekatan yang dugunakan oleh Moore (1966) walapun Moore sendiri banyak mengkritik Lipset yang dianggap cenderung melihat faktor modernisasi sebagai faktor ”one-sided” yang tidak ambigu terhadap munculnya demokrasi.
Diskusi mengenai demokrasi, dalam perspektif kultural, banyak melihat unsur-unsur nilai dan budaya dalam hubunganya dengan munculnya demokrasi dan demokratisasi. Secara khusus, bagaimana nilai-nilai dan prinsip-prisnip universal demokrasi tersebut bertemu dengan nilai-nilai budaya lokal politik. Pertanyaanya adalah apakah demokrasi memberikan kontribusi dan peran dalam tumbuhnya nilai-nilai toleransi dan penciptaan haromoni? Atau apakah pembangunan dan/atau konstruksi sosial nilai-nilai toleransi diharuskan sebagai prasyarat sosio-ekologis tumbuhnya demokrasi? Atau apakah karakrer politik atau demokrasi mengarah pada penciptaan harmoni antar kelompok, baik secara sosial maupun ethnis? ” Dose democracy require harmony and tolerance? OR does democracy lead to social harmony and tolerance?”.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, pertama-tama, perlu ditelusuri jejak transportasi demokrasi di Indonesia, dan secara umum di Dunia Ketiga. Dari upaya penelusuran sosio-historis tersebut, perlu dikaji secara lebih khusus aspek epistemologis dari produk impor demokrasi tersebut. Terakhir, kita perlu melihat hubungan dan interaksi antara prinsip dan nilai universal demokrasi dengan nilai dan budaya lokal Indonesia, dengan fokus pada isu khusus toleransi dan munculnya harmoni sosial.
Demokrasi, Transportasi dan Nilai
Demokrasi, harus diakui, merupakan produk budaya Barat yang berisikan seperangkat nilai dan budaya masyarakatnya. Demokrasi menjelma menjadi suatu sistem politik tersendiri yang banyak membawa masyarakat Barat menjadi maju dan makmur. Kemajuan yang dibawakan oleh sistem politik demokrasi tersebut antara lain berupa kemajuna ilmu pengetahuan, tehnologi, pemenuhan hak-hak warganya tanpa membedakan ras, agama dan suku. Kemakmuran yang dirasakan oleh masyarakat Barat sebagai efek dari demokrasi ini banyak bersinergi dengan dengan filosofi liberalisme dan materialisme yang mereka pegang. Kemakmuran berarti tersedianya dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan materalistik mereka (Rauf, dalam Zuhro 2011).
Demokrasi sendiri sebagai seperangkat pengetahuan abstrak dan praktek terbatas dapat merujuk Roma dan Yunani Kuno, pada sebelum abad ke-5 S.M., di mana banyak berdiri polis-polis atau ”city-state” (negara kota) di Yunani, dan secara khsusu berutang pada para filusuf Yunani Kuno, ternasuk Plato dan Aristoteles. Masalah umum yang muncul dalam perdebatan folosofis tersebut adalah bagaimana mengorganisasikan pemerintahan negara kota tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan menciptakan kemakmuran untuk masyarakat. Paling tidak hal tersebut sampai dengan abad ke-17 di Inggris, khususnya selama perang sipil (Acemoglu & Robinson 2006)
Secara singkat demokrasi muncul sebagai suatu sistem politik yang secara umum banyak dipakai ebagai sistem politik permanen oleh negara-negara Barat (Eropa dan Amerika Utara) adalah sejak abad ke 19 an. Sebelum abad ke-19, dapat dikatakan hanya sedikit abstraksi dan teorisasi mengenai demokrasi yang muncul, sampai dengan munculnya tokoh-tokoh seperti Thomas Jefferson, Jhon Stuart Mills, Alexis de Tocqueville, dan Abraham Lincoln (Mayo 1968). Pertanyaannya adalah mengapa dalam abad ke-19? Sebelum abad ke-19, komunitas Eropa yang hidup secara terpencar di daerah-daerah pedesaan. Dalam koteks ini, kita dapat memikirkan revolusi besar-besaran di Eropa pada abad ke-19 yang menciptakan kombinasi antara meningkatnya peroses urbanisasi dan pekerjaan-pekerjaan di pabrik. Faktor-faktor inilah yang menginisiasi munculnya gelombang beasar-besaran demokrasi di abad ke-19 Eropa. Kasus-kasus revolusi 1830 di Perancis dan 1848 di Jerman dapat menjadi kasus penting tersendiri (Acemoglu & Anderson 2006).
Kehadiran demokrasi yang telah banyak menciptakan kemakmuran dan kemajuan bagi bangsa-bangsa Barat tersebut telah menjadi bangsa-bangsa tersebut sebagai referensi dan model utama pembangunan politik dan ekonomi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Transportasi demokrasi ke negara-negara di Asia dan Afrika tersebut secara khusus banyak difasilitasi oleh kehadiran negara-negara Barat tersebut sebagai penjajah. Kolonialisasi yang dilakukan oleh negara-negara Barat tersebut sebagai refleksi, dan bahkan eskpresi keserakahan (greediness), dari watak materialsme mereka secara tidak sengaja telah membawa banyak pelajaran dan pengetahuan mengenai sistem politik demokrasi terhadap negara-negara jajahannya. Secara umum, harus diakui bahwa munculnya kecendrungan untuk meniru model pembangunan politik dan ekonomi Barat ini muncul sejak awal abad 20.
Secara khusus, negara-negara Asia dan Afrika secara konkrit mentrasportasi sistem demokrasi tersebut setelah perang Dunia Ke-II, di mana banyak di antara negara-negara tersebut yang telah memperoleh kemerdekaanya, tidak terkecuali Indonesia yang telah mengklaim kemerdekaanya di bawah kepemimpinan Soekarno pada tahun 1945. Setelah merdeka, banyak negara-negara tersebut yang tidak memiliki referensi model pemerintahan. Model demokrasi menjadi pilihan utama, daripada sistem komunisme, yang dalam pespektif ”rational-choice”, dianggap kurang membawa dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan pada rakyatnya. Oleh karenanya, pilihan demokrasi sebagai sistem poltik negara-negara tersebut, dalam tataran teretentu, merupakan pilihan rasional.
Indonesia, yang telah memperoleh kemerdekaan di bawah kepemimpinan Soekarno, juga telah mentrasnportasi sistem demokrasi tersebut, mejadi demokrasi terpimpin (guided democracy). Transportasi demokrasi, yang pada dasarnya dibangun di atas nilai-nilai Barat/nilai-nilai liberal, telah menciptakan suatu kondisi di mana masyarakat di Dunia Ketiga tersebut kemudian merasa asing dengan nilai-nilai tersebut, dan dalam tataran teretntu, bahkan bertentangan dengan nilai dan budaya lokal/nasional mereka. Banyak diantara negara-negara di Asia dan Afrika yang lebih banyak didominasi oleh nilai-nilai feodal. Pada sisi lain, muncul dan berkembangnya demokrasi di Barat sendiri merupakan kemenangan atas feodalisme.
Secara epistemologis, demokrasi bukanlah ”free value”, tapi mengandung di dalamnya adalah nilai, budaya dan konteks historis dan sosio-politis. Konsekwensinya, ketika demokrasi ini ditransfer ke negara-negara non-Barat, khususnya Asia dan Afrika yang secara kultural jauh lebih heterogen, banyak muncul perbedaan nilai-nilai. Bahkan dalam tataran tertentum, nilai-nilai tersebut bersifat negatif (negating) terhadap nilai-nilai pendukung demokrasi, walaupun tentunya terdapat juga yang positif-supportive terhadap nilai-nilai prinsipil demokrasi tersebut, seperti libralisme, kebebasan, persamaan, toleransi, dsb. Akibatnya, banyak adjustment kultural yang dilakukan dalam proses demokratisasi di negara-negara Dunia Ketiga tersebut. Oleh karenanya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Acemoglu & Anderson (2006), banyak negera yang diasosiasikan dengan demokrasi, tatapi tidak ada satupun yang serupa.
Demokrasi, Toleransi dan Harmoni di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling heterogen di dunia, baik secara ethnis maupun agama (Mancini 2008; Malley 2002; Ross 2005). Setiap suku memiliki budaya dan nilai masing-masing yang unik. Tidak ada budaya nasional yang dianggap berlaku untuk seluruh suku dan/atau kelompok komunal di Indonesia. Pada sisi lain, kenyataanya adalah bahwa banyak sekali suku dan kelompok komunal tersebut yang masih memegang teguh budaya-budaya feodal.
Demokratisasi hanya akan berjalan secara lancar jika lingkungan tumbuh dan berkembangnya disokong oleh budaya politik yang mendukungnya, seperti toleransi, kebebasan, persamaan, perlindungan hak-hak individu, dsb. Pertanyaan menjadi sejuahmana budaya-budaya tersebut sinkron dengan budaya dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh sistem demokrasi. Salah satu budaya penting nusantara yang dianggap sangat positif-supportive terhadap demokrasi adalah budaya musyawarah dan gotong-royong, yang secara prinsipil hampir terdapat dalam budaya-budaya lokal di Indonesia. Dengan hanya dua nilai penting itu saja, sebagaimana yang ditegaskan oleh Maswadi Rauf (Zuhroh 2011), sangat sulit untuk benar-benar menegakkan sistem politik demokratis. Nilai-nilai penting lainnya tentunya sangat diperlukan, terutama kebebasan dan persamaan yang sangat sulit ditemukan dalam budaya yang lebih banyak diwarnai paternalitas. Akan tetapi, paling tidak dalam tataran ini, tidak ada alasan kuat untuk mengatakan bahwa Indonesia tidak memiliki nilai atau budaya demokratis sama sekali. Bahkan, dalam konteks resolusi konflik, budaya musyawarah banyak dianggap sebagai salah bentuk bentuk alami/lokal resolusi konflik di Indonesia, sebagaimana Ho’oponopono di Hawaii dan Monkalun di Filipina (Barnes 2007), dibandingkan dengan model Barat yang dilandaskan pada nilai-nilai liberalisme-demokratis (Raby 1994).
Budaya politik diterjemahkan oleh Almond dan Verba sebagai sikap individu terhadap sistem dan komponen-komponennya, dan juga sikap individu terhadap peranan yang dimainkan dalam sistem politik. Menurut Gaffar, budaya politik sendiri sebagai orientasi psikologis terhadap objek sosial, yang secara spesifik adalah sistem politik (Zuhroh 2009). Salah satu nilai dan budaya demokratis penting lainnya yang perlu dikembangkan untuk menopang sistem demokrasi adalah toleransi. Nilai luhur ini tidak secara otomatis dan dengan sendirinya tumbuh begitu saja sejalan dengan berlangsungnya proses demokratisasi di Indonesia. Apalagi, jika secara jelas-jelas disepakati bahwa nilai toleransi tersebut bukanlah salah satu nilai kultural yang umum dalam budaya-budaya di Indonesia. Demokrasi tidak melahirkan dan membuat seseorang berprilaku toleran secara otomatis. Diperlukan upaya sosialisasi dan pembelajaran dan waktu yang panjang untuk meng-internalisasi nilai-nilai toleran tersebut. Oleh karenanya, jangan heran, jika Sekjen PBB sendiri, Ban Ki-moon, menegaskan:
Democracies are not born overnight, nor built in a year…[r]eform must be real…[i]nclusive dialogue is critical. Diversity is a strength.” (dalam Noyleen Hayzer 2013).
Budaya politik yang demokratis ini seringkali disebut dengan “civic culture”. Agar seseorang dapat memiliki budaya politik demokratis, negara-negara tertentu mendesain suatu pendidikan khusus untuk warganya, yang seringkali disebut dengan “civic education”. Pendidikan ini seringkali juga disebut dengan citizenship education (pendidikan kewarganegaan) yang bertujuan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan nilai-nilai pendidikan melalui “civic culture”. Dalam banyak kasus do negara-negara lain, civic education ini juga seringkali disebut dengan conflit resolution education atau peace education, yang merupakan fondasi untuk budaya politik dan demokratis. Konstruksi masyarakat demokratis sangat tergantung pada suksusnya pembentukan pribadi yang demokratis (Finger, at.al, 2007).
Berdasarkan perspektif konstruktifis, budaya dan identitas ethnis bukanlah sesuatu yang ”given”, tetapi dikonstruksi secara sosial dalam proses panjang yang bersifat politis, sosial dan kultural (Yang, 2000; Cerulo 1997; Nagel 1995; Barth 1969: Williams 1994). Begitu juga dengan demokrasi sebagai suatu budaya yang telah diciptakan sedemikian rupa dalam proses sosio-politis yang panjang, dan bukanlah ada begitu saja (given). Dengan demikian, nilai-nilai yang diperlukan untuk menopang demokratisasi tersebut dapat disosialisasikan lewat proses pendidikan kewargaan secara konsisten dan serius.
Toleransi diperlukan sebagai salah satu nilai penting penopang demokrasi karena politik dan demokrasi sendiri secara inherent bersifat konfliktual. Setiap pilihan-pilihan kebijakan tertentu melalui proses demokratis pasti merupakan distribusi konfliktual karena akan memihak pada kelompok tertentu, apakah itu kelompok kaya, mayoritas, suku tertentu, agama tertentu, dsb. (Acemoglu & Anderson 2006). Dalam konteks ini, sikap toleran sangat diperlukan untuk menghindari dan mencegah terjadinya konflik dan kekerasan, yang saat ini banyak terjadi dalam pemilukada di Indonesia. Di mana, kandidat yang kalah seringkali tidak bisa menerima hasil pemilukada tersebut dan melakukan apa saja, termasuk kekerasan politis. Berdasarkan data Bawaslu mengenai kekerasan dalam pemilikukada (2010-2011), telah terjadi 18 konflik kekerasan di tingkat propinsi dan 28 di tingkay kabupaten. Jumlah tersebut tidak dapat dikatakan sedikit. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa konflik dan kekerasan tersebut merupakan ekspresi dari nilai-nilai demokratis yang belum sepenuhnya terinternalisasi dengan baik.
Oleh karenanya, menciptakan harmoni sosial dan nasional harus dilakukan dengan mengimplementasikan nilai-nilai dan budaya demokratis secara benar, khususnya nilai toleransi. Lebih dari itu, meningkatkan harmoni nasional dan sosial adalah berkenaan dengan pembangunan trust, saling menghargai dan memahami, serta penghromatan terhadap hak-hak individu. Demokrasi tidak dengan sendirinya secara otomatis menciptakan harmoni tersebut. Akan tetapi, kita harus menciptakan harmoni tersebut dengan membangun dan mengimplementasikan budaya-budaya demokratis secara benar dan konsisten. Harmoni sosial merupakan prasyarat penting pembangunan demokrasi. Demokrasi sendiri lahir dan berkembang dari proses terjadinya perang saudara (civil war), baik di Eropa maupun di Amerika Utara (Acemoglu & Anderson 2006). Dalam suasana konflik, hampir mustahil demokratisasi dan konsolidasi demokrasi dapat berjalan dengan lancar.
Referensi
Acemoglu, D. & Robinson, J.A. (2006). Economic origins of dictatorship and democracy. New York: Cambridge University Press.
Barnes, B (2007). Culture, conflict, and mediation in the Asian Pacific. New York: University Press of America. (pp. vii-viii)
Cerulo, K.A. (1997). Identity construction: new issues, new directions. In Annual Review of Sociology. Vol. 23, pp. 385-409.
Chai, S. (2001). Choosing an identity: a general model of preference and belief formation. Ann Arbor: University of Michigan Press.
Cornell, S.E. (1997). Ethnicity and race: making identities in a changing world. New York: Thousands Oaks.
De Vos, G. & Ross, L.M. (eds.) (1982). Ethnic identity: cultural continuities and change. Chicago: University of Chicago Press.
Finger, et.al. (2007). Conflict resolution education; a key tool for the construction of citizenship in Argentina. Dalam Jhon. T.S. (ed.). Conflict resolution quarterly. Confict Resolution Association, pp. 87-92.

Penulis: Gemapol

Artikel Demokrasi dan Pendekatan Budaya , diterbitkan oleh Gemapol pada hari Senin, 02 Juni 2014 . Semoga artikel ini dapat menambah wawasan Anda. Salam Gemapol

0 komentar :

Posting Komentar

Subscribe me on RSS