Home » » Kelas di dalam Kelas Pekerja

Kelas di dalam Kelas Pekerja

Di pemakaman Highgate, London, pada sebuah batu makam tertulis “Kelas Pekerja Sedunia, Bersatulah!”. Tulisan tersebut tertera di makam Karl Marx, yang meninggal 130 tahun yang lalu. Pertanyaannya, apakah impian besar Kelas Pekerja Sedunia telah terwujud? Tentu saja tidak, jika yang kita harapkan ialah penghapusan kerja upahan bagi kelas pekerja, namun jawabannya bisa jadi ya, apabila kita menjawabnya bahwa kelas pekerja sedunia dipersatukan oleh rantai besar kapitalisme di manapun ia berada.

Kelas pekerja, seringkali dikenal dengan istilah proletariat, berasal dari bahasa Romawi, proletarius-dengan suku kata utama proles (keturunan)-mereka yang hanya memiliki keturunan untuk didaftarkan sebagai “sesuatu yang dimiliki” di dalam sistem sensus Romawi. Karl Marx (yang mempelajari tata hukum Romawi, di Universitas Berlin), meminjam istilah proletariat untuk mendefinikan “kaum yang ada di corak produksi kapitalisme, yang ditandai dengan kerja-upahan, karena kaum tersebut tidak memiliki kuasa atas faktor produksi (modal, mesin-mesin, tanah dan bangunan), maka mereka bertahan hidup dengan cara menukarkan waktu dan kapasitas kerja mereka untuk memproduksi komoditi (barang dan jasa yang gunanya diproduksi adalah untuk diperjual-belikan) bagi para pemilik modal.

Lebih lanjut lagi, Karl Marx mendefinisikan proletariat sebagai:
(1) proletariat ialah “Kelas Pekerja Modern”
(2) proletarian, atau orang-orang yang termasuk dalam kategori kelas proletariat, tak memiliki cara lain untuk bertahan hidup selain dengan menjual tenaga kerjanya
(3) posisi mereka membuat mereka sangat tergantung hidupnya pada para kapitalis, pemilik kapital
(4) proletariat menjual dirinya sendiri, bukan menjual produk seperti yang dilakukan oleh borjuis-kecil dan kapitalis
(5) proletariat menjual diri mereka sendiri untuk mendapatkan upah, bukan seperti budak yang diperjual-belikan oleh individu-individu lain dan menjadi harta milik bagi sang pemilik budak
(6) walaupun terminologi ‘kelas pekerja’ selalu dikonotasikan sebagai pekerja fisikal, dengan menggunakan tenaga fisiknya, Marx telah mendeskripsikan dengan tepat bahwa kerja dengan menggunakan otak pun termasuk proletariat selama ia melakukannya untuk mendapatkan upah dari kapitalis, yang dengan demikian maka
(7) proletariat adalah sebuah kelas.

Satu hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya hubungan/keterkaitan dari definisi proletariat dengan konteks kerja-upahan. Kerja-upahan adalah bentuk produksi di mana proletariat terlibat penuh dalam proses kerjanya, yaitu, dengan menjual waktu dan tenaga kerja milik mereka mereka sesuai dengan waktu kerja dan jenis kerja yang ditentukan oleh Kapitalis (para pemilik modal), dimana nantinya, kapitalis akan memberikan gaji atau bayaran bagi proletariat.

Di Indonesia sendiri, istilah proletariat digunakan secara terbatas, lebih umum dikenal dengan istilah kelas pekerja. Dalam kaidah Bahasa Indonesia pun, yang kita gunakan sehari-hari, Prof. Nugroho Notosusanto, seorang aktor propaganda yang sangat anti-komunis, yang menjadi jajaran menteri di masa Orde Baru, mendefinisikan kata “pekerja”, “pegawai” dan “karyawan” sebagai sebutan untuk mereka yang bekerja, terutama di bidang jasa, di sektor yang sedikit atau hampir sama sekali tidak menggunakan kerja fisik, biasa kita kenal dengan istilah “pekerja kerah putih” atau “pekerja kantoran”. Sementara kata “buruh” digunakan sebagai sebutan bagi mereka yang bekerja di bidang manufaktur dan sebagian besar pekerjaannya dilakukan dengan tenaga fisik, biasa kita kenal dengan istilah “pekerja kerah biru”. Akibatnya, kedua kaum yang menjual waktu serta tenaganya ini merasa terpisah, karena masing-masing, satu sama lainnya menganggap diri mereka sebagai dua bagian yang terpisah. Kita pun seolah mengiyakan, apakah semua pekerja berada dalam keadaan yang serupa ataupun setara? Berdasarkan kenyataan yang coba dibentuk oleh Kapitalisme, kita dapat memahami dan mengamati bahwa ada perbedaan pola kerja maupun pola pengupahan di satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.

Belum lagi adanya kekacauan yang ditimbulkan oleh perbedaan lainnya, baik dalam istilah maupun dalam praktek, seperti pekerja paruh waktu dan pekerja penuh waktu, pekerja outsourcing (alih daya), pekerja kontrak, dan pekerja tetap, pekerja jam reguler (8 jam kerja sehari, selama minggu kerja) dan pekerja jam non reguler (contoh: supir taksi, petugas keamanan, dimana jadwal kerjanya bisa saja tidak libur di hari Sabtu dan atau Minggu, namun diluar hari-hari tersebut), pekerja formal dan pekerja informal (mereka yang bekerja di UKM-UMKM, perusahaan kecil,serta industri rumah tangga, pekerja rumah tangga), “pekerja keterampilan khusus” dan “pekerja tanpa keterampilan khusus” dan masih banyak contoh lainnya.

Dalam struktur organisasi pun kita melihat adanya jenjang dari kelas pekerja ini mulai CEO (Chief Executive Officer, orang yang dipercaya pemegang saham-kapitalis-sebagai pelaksana bisnis perusahaan) di level yang paling atas, kemudian direktur, manajemen, supervisor, staff, hingga “pegawai rendah” macam office boy/office girl, pegawai magang, operator mesin fotokopi dan lain-lainnya. Ditambah lagi dengan adanya perlakuan istimewa terhadap mereka yang lama bekerja, adalah sangat umum, bahwa perusahaan menambahkan titel “senior” pada jabatan kerja tertentu (contoh: Senior Supervisor) yang juga memunculkan tunjangan yang diukur berdasarkan lamanya waktu bekerja (waktu pengabdian terhadap perusahaan).

Keragaman dan perbedaan-perbedaan yang dialami oleh kelas pekerja, memunculkan perbedaan cara pandang atas kenyataan sehari-hari dan hubungan sosial mereka. Salah satu contoh yang lumrah ialah, dilarangnya pekerja dengan jenjang manajemen untuk aktif dan tergabung di dalam serikat buruh, cara pandang pekerja dengan tingkatan yang lebih tinggi lebih berpihak terhadap borjuasi kapital, tuntutan tolak outsourcing yang mengabaikan teman-teman pekerja lainnya di 5 bidang (jasa kebersihan, jasa keamanan, jasa angkutan (transportasi), penyediaan makanan dan minuman (catering), konstruksi dan pertambangan), isu-isu buruh tani dan nelayan yang tidak masuk kedalam kepentingan besar serikat pekerja industri, dan tentu saja kita dapat menyebutkan beberapa permasalahan yang dihadapi lainnya, yang menjelaskan adanya perbedaan sikap yang didasarkan atas perbedaan cara pandang yang dibentuk oleh kenyatan sehari-hari dan hubungan sosial. Kebobrokan pada perjuangan kelas pekerja, ditambah lagi dengan adanya mitos “kelas menengah”, dimana sebagian besar anggotanya terdiri dari kelas pekerja yang lebih tinggi atau lebih mapan jabatannya.

Di Indonesia saat ini, serikat-serikat pekerja entah berapa banyak jumlahnya, namun upaya untuk membentuk sebuah gabungan serikat buruh yang otonom (mandiri, terlepas dari kekuatan ekonomi politik kaum borjuis) dan non-hierarkis (tidak berjenjang) belum dapat dikatakan ”menuju titik cerah”. Sementara di sisi lainnya borjuis berupaya untuk menciptakan serikat-serikat pekerja tandingan. Belum lagi sifat beberapa serikat pekerja yang cenderung mau berkompromi dengan penguasa serta kecenderungan nasionalisme sempit yang diusungnya. Gerakan pekerja Indonesia bahkan terpisah dan asing dengan gerakan pekerja Internasional, bahkan sejak zaman PKI pun, gerakan pekerja hanya berhubungan dengan gerakan pekerja di Blok Soviet, walaupun beberapa saat belakangan keaktifan pekerja migran Indonesia, membuka harapan bagi terciptanya sebuah solidaritas pekerja Internasional. Kegagalan gerakan pekerja (yang cenderung dimotori oleh serikat pekerja) dalam membahas isu-isu yang ditimbulkan oleh Kapitalisme di luar hubungan kerja dan pengupahan, seperti isu lingkungan hidup, penindasan atas perbedaan kelamin (dominasi patriarki, genderisasi, isu pelecehan seksual), isu kebebasan beragama, Hak Asasi Manusia, hak masyarakat adat, perampasan lahan, pengelolaan kota dan militerisme serta isu-isu lainnya menjadikan sebagian besar kelas pekerja (terutama yang diharapkan akan lebih progresif dan militan setelah bergabung dengan serikat pekerja) seolah katak dalam tempurung.

Kegagalan, untuk memandang bahwa istilah pekerja dan buruh hanya mencakup golongan tertentu saja, telah berhasil merombak pemikiran kita di Indonesia untuk tunduk kepada kenyataan yang diciptakan oleh kapitalisme. Sekat-sekat yang masuk lewat bahasa berubah menjadi anggapan atas kenyataan sehari-hari yang berujung kepada tindakan-tindakan yang merugikan bagi proletariat itu sendiri. Di titik inilah istilah proletariat menjadi penting. Karena ia mampu melampaui sekat-sekat antara masing-masing kita yang menganggap diri kita buruh, karyawan, pegawai, pekerja,serta jenjang-jenjang jabatan dalam organisasi kerja dan istilah-istilah lainnya, lalu menyatukan diri kita semua sebagai proletariat. Sudah seharusnya May Day menjadi hari kita semua, hari di mana proletariat mengingatnya sebagai hari penentangan proletariat terhadap kapitalisme. Sudah seharusnya kejahatan kapitalisme, bukan hanya menjadi perhatian para Marxis dan pekerja industri kerah biru, melainkan juga pekerja kerah putih, pelajar dan mahasiswa, ibu rumah tangga, penganggur, buruh tani, pekerja jasa, dan siapapun juga yang merayakannya atas nama mereka sendiri, bukan lagi atas nama solidaritas ataupun belas kasihan terhadap pekerja industri kerah biru dan mereka yang dimiskinkan. Tapi atas nama diri kita sendiri, diri kita semua, demi solidaritas universal sesama proletariat.

Adalah sebuah pilihan bagi proletariat di Indonesia, untuk terus tersekat-sekat, untuk terus tertindas dan dibodohi, untuk membiarkan kapitalisme menguasai dan menghancurkan bumi, untuk membuktikan kegagalan bahwa proletariat akan tampil sebagai kelas yang menghapuskan kerja upahan dan kelas diantara manusia. Atau apakah proletariat Indonesia, akan lebih memilih mengubah pandangan hidup, serta perjuangannya? Entahlah, jawaban ada di setiap masing-masing diri proletariat Indonesia.

Penulis: Gemapol

Artikel Kelas di dalam Kelas Pekerja , diterbitkan oleh Gemapol pada hari Senin, 02 Juni 2014 . Semoga artikel ini dapat menambah wawasan Anda. Salam Gemapol

0 komentar :

Posting Komentar

Subscribe me on RSS